Jiwa Penari di Rumah Lantip

Ardi Teristi Hardi
31/1/2016 14:30
Jiwa Penari di Rumah Lantip
(MI/Ardi Teristi Hardi)

DENGAN bentuk yang mirip rumah panggung, kediaman di Desa kembaran Bantul, Yogyakarta, itu sulit tidak diacuhkan. Terlebih dari dekat, keunikan seperti terus berlanjut di setiap jengkal rumah.

Nyatanya, rumah pasangan Lantip Kuswala Daya dan Jeannie Park itu bukanlah rumah panggung. Di balik dinding batu dari muntahan Gunung Merapi dan tampak seperti pagar ialah bangunan lantai dasar.

Sementara, bangunan atasnya yang berbentuk L ditopang dengan tiang-tiang. Bangunan atas ini berdinding kayu sehingga menegaskan kekontrasan dengan bangunan bawahnya.

Di ditemui di kediamannya, Senin (25/1) siang, Lantip menyebut nama Eko Prawoto sebagai 'otak' pembangunan rumah di atas tanah seluas 250 meter persegi itu. Eko memang terkenal sebagai arsitek dengan gaya desain alami dan penuh rasa.

Lantip mengenal Eko pada 2002, tidak lama setelah sang arsitek selesai menggarap rumah Butet Kartaredjasa yang juga berada di lingkungan itu. Kepada Eko, Lantip mengutarakan keinginan memiliki rumah yang mencerminkan jiwanya dan sang istri.

"Bentuk bangunan mengikuti kita, yang saya dan istri sama-sama seorang penari," kata Lantip yang seorang penari Keraton Yogyakarta dan terkenal dengan tari Lawung. Sementara, sang istri yang berdarah Korea, tetapi kelahiran Amerika Serikat, piawai menari Bedhaya Srimpi dan menjabat di Yayasan Bagong Kussudihardja.

Oleh Eko, penyatuan sosok Lantip dan istri disimbolkan dalam penyangga bangunan bagian atas. Penyangga itu memiliki bentuk siku yang menyimbolkan huruf L yang merupakan inisial sang kepala rumah tangga, sedangkan bentuk lengkung menyimbolkan huruf depan sang istri.

Simbol jiwa penari kemudian diabadikan lewat ubin di lantai depan dapur. Di situ terdapat sembilan ubin pecahan yang melengkung.

Lantip menjelaskan penggunaan ubin itu merupakan ide dari Eko dengan tujuan mencerminkan formasi penari Bedhaya Srimpi yang berjumlah sembilan. Di area itu pula terdapat ubin unik lain yang berjumlah empat sebagai simbol formasi penari Lawung.

Menyatu dengan lingkungan
Tidak hanya mencerminkan jiwa ia dan pasangan, Lantip mengaku juga ingin rumahnya menyatu dengan lingkungan. Maka, rumah itu sama sekali menghindari kesan 'angkuh' terhadap bangunan maupun suasana sekitar.

Selain tidak berpagar, Eko membuat rumah tersebut tidak terlalu tinggi meski tetap berlantai dua. Caranya ialah dengan membiarkan bekas galian di lahan yang semula merupakan tempat pembuatan batu bata itu.

"Setelah berbincang, kami sepakat bekas galian itu tidak diuruk," kata ayah satu anak ini. Dengan cara ini, rumahnya bisa tidak terlihat tinggi dan malah terlihat lebih luas.

Melihat dari dekat rumah itu, tampaklah material dan elemen-elemen rumah yang tampak berlainan. Rupanya ini merupakan barang-barang lawas yang dikumpulkan pasangan itu sebelum rumah mulai dibangun.

Salah satunya ialah jendela lengkung bekas gereja tua. Lalu, ada pula material bekas rumah Belanda, teralis kuno dan ada pula kayu bekas bantalan rel.

Lantip menjelaskan pemanfaatan barang lawas itu sekaligus untuk menekan biaya pembangunan. Hal itu pula yang membuat dinding bangunan lantai satu banyak menggunakan batu alam dan batu bata yang dibiarkan tidak dihaluskan.

Meski biaya pembangunan diakui pada akhirnya tetap melebihi bujet awal, dari rencana Rp125 juta menjadi Rp200 juta, pemanfaatan bahan bekas dan tanpa finishing halus menghasilkan nilai artistik yang tinggi.

Dari sisi pencahayaan rumah ini juga terbilang sangat kaya. Pasalnya, banyak ruang-ruang dibiarkan terbuka sehingga saat siang tidak ada lampu yang dihidupkan.

Setelah gempa 2006, Lantip menambah 70 meter persegi luas bangunan rumahnya. Kini, rumahnya memiliki empat kamar tidur, tiga kamar mandi, dapur, dan beberapa ruang yang bisa digunakan untuk tempat berkumpul.

"Rumah ini banyak memiliki spot-spot yang menarik untuk melihat keluar," kata dia. Ia pun memilih tempat untuk menghabiskan waktunya dengan menyesuaikan sesuai dengan arah matahari.

Ia mengatakan, sejak dibangun pada 2002, rumah tetap kukuh termasuk saat gempa melanda pada 2006. Perbaikan dan beberapa tambahan ruang baru direncanakan dilakukan tahun ini. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya