Mimpi Mustahil Orang Kecil

Dzulfikri Putra Malawi
31/1/2016 14:00
Mimpi Mustahil Orang Kecil
(MI/Dzulfikri Putra Malawi)

HANYA ada tiga buah properti utama di panggung. Sebuah pohon beringin besar, bangku kayu, dan sebatang tiang lampu. Di bawah temaram sinarnya, Retno (Rini Samsi) melakukan rutinitas hariannya, menjajaki diri.

Sementara di bawah pohon beringin ada Ma'e (Megarita) si perempuan tua sebatang kara. Lalu, silih berganti Panud (Aryo Nagoro) si pencopet muda dan sejumlah pengangguran Koyal (Banon Gautama), Hamung (Hestu Wredha), dan Tukijan (Riyanto), termasuk Retno, bernaung di bawah rindangnya pohon ikonik alun-alun Yogyakarta itu.

Pohon beringin itu memang menjadi bagian hidup mereka, berteduh dari panasnya matahari dan berlindung dari bahaya di malam hari. Hanya itu yang mereka punya sebagai rakyat jelata. Tempat untuk tidur di atas alas lembaran kardus.

Sebuah mimpi yang dimiliki Koyal karena memenangi lotre berhasil mengubah hidup mereka. Sayangnya, itu hanya mimpi. Bahkan, mimpi saja menjadi mustahil. Pada akhirnya, seperti kata Hestu Wredha yang juga menjadi Ketua Program Studi Teater Fakultas Seni Pertunjukkan (FSP) Institut Kesenian Jakarta (IKJ), "kita tidak pernah mendapatkan tetapi selalu merasa kehilangan."

Ungkapan itu yang tersirat dari tiap babak pementasan teater dengan lakon Mega, Mega karya Arifin C Noer, di Malay Heritage Centre, Singapura, Sabtu (23/1) lalu. Para pelakon berasal dari para mahasiswa dan lulusan FSP IKJ.

Naskah ini sebelumnya pernah mendapatkan penghargaan sebagai lakon sandiwara terbaik pada 1967 dari Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (BPTNI). Pernah pula dipentaskan oleh Teater Ketjil di Taman Ismail Marzuki pada 1969 yang disutradarai Arifin sendiri dengan para pemain, antara lain Sri Widiati Taufik, Rita Zahara, Taufik Efendi, Amak Baldjun, Ikranegara, Mansyur Syahdan, dan Sardono W Kusumo.

Pementasan yang dilakukan dua kali di Malay Heritage Centre itu tetap disajikan dalam unsur tradisi dan budaya Yogyakarta dengan menjaga suasana kekinian. Penggarapannya juga dimasukkan unsur tari dan musik tradisi tanpa melupakan unsur pop.

"Prinsipnya menyederhanakan persoalan agar gampang dinikmati, jadi lebih mudah. Misalnya, pohon beringin ada hubungannya dengan partai, ibu pertiwi, tapi kita garap itu sebagai tempat berteduh saja," ungkap sang sutradara Bejo Sulaktono kepada Media Indonesia sebelum pementasan.

Banon Gautama, 28, salah seorang pelakon dalam pementasan itu mengatakan banyak dialog yang kejadiannya terjadi di dunia nyata. "Ceritanya luar biasa, sepertinya mas Arifin punya penderitaan yang luar biasa. Omongan dan pikirannya peduli terhadap kaum marjinal. Kami seperti di-casting oleh Tuhan. Koyal itu adaptasi dari khayal atau khayalan, saya yakin itu pesan tersembunyi dari mas Arifin," ungkap lulusan FSP IKJ 2010 yang kini aktif dalam dunia pantomim.

Pada pementasannya, tidak ada alih bahasa yang dilakukan dari para pelakon. Hanya beberapa saja istilah yang dikolaborasikan untuk melengkapi dialog, seperti teh tarik yang memang banyak di jual di wilayah itu (Singapura).

"Naskah ini paling sederhana dari karya Arifin C Noer yang lain. Tidak ada penyesuaian yang berarti karena kita anggap tokoh-tokoh ini yang berasal dari Yogyakarta untuk memperkenalkan identitas kita sendiri. Kalau mau menjelma jadi orang Singapura, untuk apa kami pentas di sini. Untungnya naskah Arifin juga masih nyerempet melayu," terang Bejo.

Jajang C Noer, istri Arifin yang juga hadir dalam pementasan malam itu mengatakan pementasan dari sang sutradara ini ialah yang paling difavoritkannya dari sekian banyak pementasan yang dilakukan sutradara lain. "Saya sudah pernah melihat beberapa kali pementasan Mega, Mega, tapi saya paling suka dengan pementasan ini karena mampu dikemas dengan baik dan berbeda. Eksplorasi dan penghayatan pemerannya juga baik," ungkap wanita yang juga pernah memerankan Retno ini pada 1993.

Teater komedi
Hal yang membuat pementasan ini berbeda karena naskah surealis ini ditransformasikan Bejo menjadi teater komedi. Hal itu memang tidak disangka mengingat tidak banyak properti yang dibuat menjadi lucu. Tentang hal ini, Bejo beralasan "Kalau komedi lawakan akan menjadi lucu dengan memanfaatkan penggunaan unsur properti, kostum, dan sebagainya dibuat lucu dan bisa jadi bahan tertawa. Sementara teater komedi dibilang berhasil kalau pesannya yang dibungkus dengan idiom komedi sampai kepada penonton."

Meski menyelipkan unsur komedia, tidak semua tokoh dibuat lucu, misalnya karakter Tukijan dan Hamung. "Kami tidak menghalalkan segala cara untuk melucu. Karakter Hamung lucu tapi tidak boleh sarkastik. Tidak semua tokoh bisa lucu. Penguatan karakter itu penting di teater. Kalau pada lawakan tidak penting pesannya sampai, yang penting lucu saja dilihatnya," ujar Bejo. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya