Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
SUATU HARI, seusai tampil di sebuah acara, Ega Masha didatangi anak-anak, yang kira-kira masih duduk di bangku sekolah dasar. Mereka kemudian menawarkan Ega minuman keras. Kontan, perempuan yang jadi vokalis grup band Shore itu terkejut. "Ironis, apalagi saya juga seorang ibu," ujarnya kepada Media Indonesia, belum lama ini.
Kejadian itu cukup memukul batin sang vokalis yang kerap disapa Bagong itu. Ega berpikir mungkin kejadian itu lantaran stigma dari musik reggae, yang memang telanjur dekat dengan ganja, minuman keras, dan obat-obat terlarang lainnya. Kebetulan Shore memang mengusung aliran musik asal Jamaika itu.
"Sebenarnya musik itu bisa dinikmati dalam keadaan sadar tanpa harus di bawah pengaruh sesuatu," ujar Bedoel Achmad, sang pemain keyboard. Selain Bedoel dan Ega, anggota band itu ialah Rifky Akbar (MC dan rap), Heru Opak Sagara (gitar), Firman Pman (gitar), dan Christo (drum). Mereka bertekad menghapus stigma itu.
"Kita bisa menikmati musik sehari-hari sambil kerja atau belajar. Jadi, untuk apa mengonsumsi hal-hal semacam itu," ujar Bedoel.
Melalui musik, Bedoel dkk justru ingin menularkan semangat positif dan itu mereka tuangkan dalam salah satu karya di album kedua Shore, yakni Tidak Perlu Tinggi (Tuk Berdansa Dengan Kami). Lagu dengan nuansa up-beat itu mengajak para anak muda untuk ikut menari tanpa perlu mengonsumsi minuman keras atau zat adiktif lainnya.
Shore pun tak luput berpesan kepada para penontonnya untuk menikmati musik tanpa membuat keributan di venue.
Sejak kemunculannya pada 2004, Shore hanya menelurkan dua album, yaitu Nu School Jamaican Sound (2008) dan Tak Ingin Kalah Lagi (2014). Jeda yang cukup lama antara kedua album itu membuat Shore dianggap band kemarin sore oleh generasi saat ini.
Maklum, banyak sekali band reggae yang kini bermunculan, terutama di kawasan suburban. Mereka mengatakan paling tidak dalam setahun bisa sampai 10 band baru yang muncul. "Suka ditanya sama anak-anak kecil 'Mas, band-nya baru yah?'," kenang Rifky sambil tertawa.
Jeda enam tahun bukan tanpa alasan. Tiap-tiap personel Shore mengaku ingin bereksplorasi agar menemukan warna baru untuk album mereka. "Jadi, prosesnya lama untuk menunggu tiap-tiap personel mencari influence.
" Tak hanya itu, dua personelnya, pasangan Ega dan Ricky, juga disibukkan keluarga kecil mereka. Kondisi tersebut membuat band itu harus mengurungkan niat untuk aktif di panggung, apalagi setelah melahirkan anak pertama, Ega langsung mengandung anak kedua.
Kevakuman itu dimanfaatkan tiap-tiap personel untuk mencari referensi bermusik mereka. Setelah mengumpulkan materi yang cukup, mereka lalu membawanya ke studio.
Pada 2010, mereka sudah memproduksi empat lagu baru. Dua tahun kemudian, Shore merampungkan albumnya. Namun, sebuah musibah terjadi. "Pada 2013 saat sudah selesai mastering, tiba-tiba datanya terhapus di komputer. Jadi, harus mengulang lagi," kenang Bedoel.
'Musibah' itu tak membuat mereka patah arang. Shore justru menciptakan satu tembang Tak Ingin Kalah Lagi untuk mengekspresikan kekuatan mereka, sekaligus menobatkannya sebagai judul album yang kedua.
"Kami sempat kalah oleh waktu dan proses, tapi cukup senang dengan hasilnya, sangat mewakili ekspresi kita," tutur Ega.
Tanpa batas
Saat mendengarkan album itu, telinga kita akan dimanjakan dengan rentang genre yang sangat luas tanpa menghilangkan benang merah Shore. Mereka menyebutnya nu school Jamaican sound.
Di tembang Tak Terkendali, misalnya, nuansa psychedelic dan noir terasa mengalir lembut. Berbeda dengan Tak Perlu Tinggi (Tuk Berdansa Dengan Kami) yang lebih menghentak penuh semangat. "Kami ingin musik reggae fusion yang modern dan tidak dibatasi. Mau mengambil influence (pengaruh) dari mana pun, jadikan saja," tutur Heru.
Saat meramu album kedua, kebetulan Shore memiliki studio baru dengan fasilitas yang juga tak kalah lengkap. Ini membuat mereka makin menggila dalam mencari nuansa-nuansa baru yang berkarakter. "Seperti proses penciptaan karya. Makin banyak yang didengar, makin unik pula musik kita," tambahnya.
Namun, ada kalanya keberagaman tersebut justru memancing pertanyaan penggemar, apakah Shore tidak takut kehilangan jati diri? "Keberagaman itulah yang membuat kita merasa tidak stagnan. Ada yang suka hip-hop, psychedelic. Kalau kita jenuh, kami mendengarkan apa saja, lalu kami ramu dengan nu Jamaican sound tadi," pungkas Heru. (Nfr/M-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved