PIJARAN bola api memerah keemasan mulai mekar perlahan di ufuk timur. Dari ketinggian Gunung Tambora, seakan ada seonggok misteri yang masih tersembunyi rapat. Sebuah kejadian dahsyat pernah berlangsung dua abad silam. Letusan hebat yang kini berubah jadi berkah. Bagi warga dua kabupaten, yaitu Bima dan Dompu di Nusa Tenggara Barat (NTB), yang bermukim di sekitar, Gunung Tambora menjadi primadona. Warga pun antusias menyambut baik helatan akbar mengingat dua abad letusan Tambora. Pemerintah setempat turut mendukung. Itu sebagai upaya untuk mengenang letusan paling terdahsyat di Nusantara. Tak ayal, daerah Sumbawa bagian timur itu kini menjadi sorotan dunia.
Banyak pendaki gunung hingga wisatawan minat khusus melancong ke sama. Mereka hadir untuk menjadi saksi di kawasan letusan gunung yang pernah terjadi pada April 1815 silam. Lauhil Mahfud, 46, bersama rekan sesama seniman A'an Sapoetra, tidak ketinggalan. Mereka pun ikut mementaskan tarian hingga musik etnik secara sederhana. Mereka sekadar ingin ikut mengenang letusan yang meluluhlantakkan lahan, harta benda, dan nyawa leluhur mereka. "Kami ikut suguhkan teater rakyat. Kebetulan April ini sebagai momen bersejarah. Tambora memang menyimpan rahasia alam. Ini terus kami gali dan angkat lewat seni," ujar Lauhil, warga Kelurahan Rabangodu Utara, Kecamatan Raba, Kota Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, pertengahan pekan ini. Saat berbincang lewat sambungan telepon dari Jakarta, dia merasa senang. Kampung halamannya menjadi sorotan dunia. Ini membuat ia pun terpacu untuk terus mengangkat cerita, baik legenda maupun sejarah, demi sebuah eksistensi, Tambora mendunia!
Di balik penggalian kisah, Lauhil bersama rekan sesama seniman sesungguhnya pernah sukses mementaskan teater kolosal Doro Tambora Ma Tambara di Jakarta pada 2014 lalu. Mereka menggabungkan tari, teater tradisi, sastra pitutur, dan kepercayaan kuno. "Ada versi cerita yang beragam. Ini membuat pekerja seni harus lihai untuk menggabungkan semua versi untuk mendapatkan cerita (rakyat) yang kuat," jelas ayah dua anak itu. Asal mula nama Gunung Tambora menurut cerita turun-temurun ada dua versi. Pertama berasal dari kata lakambore dari bahasa Bima yang berarti 'mau ke mana'. Ini untuk menanyakan tujuan bepergian kepada seseorang. Kedua dari kata ta dan mbora, juga dari bahasa Bima. Kata ta berarti 'mengajak' dan mbora berarti menghilang. Jadi, secara leksikal, arti kata Tambora yaitu mengajak menghilang. Konon, ada seseorang pemuda sakti yang pertama kali ke Gunung Tambora. Ia melakukan pertapaan dan tidak diketemukan lagi oleh warga. Kabarnya, ia menghilang di gunung tersebut. Kisah-kisah inilah yang membuat warga setempat masih memercayai takhayul sehingga disajikan lewat teater rakyat dan tarian.
Tombak pusaka Terlepas dari cerita rakyat yang mengupas Bima dan Tambora, kita bisa melihat bukti nyata. Warisan adat leluhur Bima masih kuat hingga kini. Salah satunya lewat tarian Mpa'a Buja Kadanda. Itu merupakan salah satu tarian heroik warisan kesultanan Bima. Tarian itu digolongkan dalam tari rakyat. Tarian tersebut berkembang di luar istana. Namun, pihak kerajaan di masa lalu ikut mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan tarian rakyat di sekitar istana. Biasanya, tari tersebut dibawakan dua penari pria. Para penari biasanya mempergunakan senjata buja kadanda atau tombak berumbai bulu ekor kuda plus perisainya. Karena bersifat tari, itu diiringi dengan gendang bima (genda mbojo). Tombak dahulunya tidak sembarangan karena merupakan pusaka.
Keunikan yang ada yaitu para penari menggunakan tombak naik ke panggung. Seusai memberi salam, para penari pun mulai menari dengan cara dan gaya masing-masing. Sepintas, gerakan demi gerakan seperti pada pencak silat. Bedanya, mereka terlihat lebih menarik dengan berbaju khas warna-warni. Semakin lama, alunan dan tabuhan gendang dipercepat. Para penari akan saling memukul. Hingga gendang diperlambat, penari pun akan setop. Di saat itulah, mereka telah selesai menyuguhkan tarian heroik itu. Seiring dengan perkembangan zaman, tari Mpa'a Buja Kadanda sudah jarang dimainkan. Saat ini hanya tinggal beberapa sanggar seni saja yang menampilkan atraksi ini seperti di Kecamatan Wawo, Keliwoha, dan Bolo. Perlu perhatian dan pembinaan pemerintah setempat agar proses regenerasi terhadap atraksi kesenian tradisional itu tak lenyap lalu sirna.
Tarian itu sudah hidup lebih dari 700 tahun silam. Namun, diperkirakan, ia ikut hilang di saat terjadinya letusan Gunung Tambora. "Letusan kan dahsyat sehingga berimbas ke daerah Bima. Ini membuat tarian itu sempat hilang. Dari cerita rakyat, barulah sanggar-sanggar mengangkat kembali pada 90-an untuk dimainkannya lagi. Sayang, generasi muda kita seakan tak peduli," keluh Lauhil. Ciri khas tarian tersebut memang menggunakan tombak sebagai ornamen pelengkap. Dahulu, warga menyuguhkannya untuk menyenangkan raja-raja. Namun, dengan pergantian zaman, kini tari Mpa'a Buja Kadanda disuguhkan bagi para tamu dan pejabat yang bertandang ke Bima. "Tombak pun berlapiskan emas. Namun, sekarang sudah jarang sekali. Mungkin emas kan mahal," cetusnya.
Budayawan M Hilir Ismail yang juga pendiri Museum Asi Mbojo Bima mengaku budaya Bima sangat kuat dengan tradisi ajaran leluhur. Ia optimistis helatan mengenang letusan Gunung Tambora dapat membuat masyarakat tergugah, terutama ikut menjaga kearifan lokal lewat tarian, teater, ataupun sastra pitutur di Bima. Pada letusan Gunung Tambora, ada tiga kerajaan yang hilang, yaitu Pekat, Tambora, dan Sangga. Sudah waktunya pemerintah dan masyarakat bergandeng tangan, menjadikan momen penting itu sebagai cara untuk menarik wisatawan demi kesejahteraan masyarakat setempat. Jangan sampai peringatan ini sekadar sebagai seremonial semata. Semua harus ikut mengambil bagian sebagai upaya untuk membawa wajah Gunung Tambora kian mendunia. Doro Tambora Ma Tambara