DI tempat pengolahan limbah itu, 12 bak berderet terbuka. Masing-masing berisi air kehijauan dengan gelembung-gelembung yang keluar dari saluran udara. Itulah instalasi percobaan yang dijalankan tim Universitas Rice di salah satu tempat pengolahan limbah kota Houston, Amerika Serikat. Warna kehijauan pada air limbah di bak-bak itu merupakan alga. Tim peneliti berharap produksi alga di air limbah membuat proses pengolahan limbah lebih hemat.
Cara itu sekaligus dapat membantu memenuhi pasokan alga untuk bahan biofuel. Jawaban dari penelitian yang dilakukan selama lima bulan mulai Juli 2013 akhirnya terpublikasi. Dalam jurnal Algae edisi yang dirilis daring awal April ini diungkapkan, budi daya alga tidak hanya berlangsung mudah, tetapi juga sekaligus mengurai nitrat dan fosfor dalam limbah itu. "Kami mendapatkan pertumbuhan alga yang subur di 12 bak itu. Hasil ini bisa berguna bagi para produser alga yang kebanyakan lebih suka memproduksi satu jenis alga (monokultur) dan tanpa pencemaran silang (cross contamination). Kondisi seperti itu juga yang paling optimal di penelitian kami," tutur Evan Siemann, salah satu anggota tim peneliti seperti dikutip dari situs resmi Universitas Rice, news.rice.edu, Kamis (2/4). Siemann menambahkan keberhasilan monokultur itu sekaligus jawaban akan kesangsian yang lama ada. Ide produksi alga monokultur sebenarnya bukan hal baru. Namun, banyak orang tidak yakin berhasil, padahal budi daya alga sejenis itu yang diinginkan para pengusaha.
Dua solusi Produksi biofuel sempat menjadi isu hangat di kalangan pengusaha alga di AS lima tahun lalu seiring dengan prospek kebutuhan biofuel untuk transportasi. Namun, seiring dengan banyaknya kendala, ketertarikan itu meredup dan pengusaha beralih ke alga untuk obat, suplemen, hingga kosmetik. Kendala itu antara lain pasokan energi, air, dan pupuk untuk produksi alga biofuel. Laporan Badan Penelitian Nasional AS 2012 bahkan memprediksi upaya produksi alga biofuel untuk memenuhi hanya 5% kebutuhan transportasi negara itu sudah akan menimbulkan kebutuhan energi, air, dan pupuk di tingkat yang tidak ramah lingkungan.
"Ketergantungan pengusaha alga pada pupuk sebenarnya dua kali kerugian. Pertama karena mengurangi untung dan kedua karena membuat mereka (pengusaha alga) harus bersaing dengan pengusaha pangan untuk mendapatkan pupuk," tutur Ketua tim peneliti Meenakshi Bhattacharjee. Dari situlah timbul pemikiran budi daya alga berbasis air limbah. Terlebih budi daya tersebut juga bisa menjadi solusi akan pencemaran di saluran dan sungai perkotaan. Badan Perlindungan Lingkungan AS menyebutkan pencemaran zat yang mengandung nitrat dan fosfor, yang merupakan dua komponen utama pupuk, telah mengkhawatirkan.
Pencemaran itu terjadi secara masif. Di sisi lain, instalasi pengolahan limbah juga tidak punya metode yang efisien untuk menguraikan nitrat dan fosfor di air limbah. Pada penelitian tersebut, tim Universitas Rice menggunakan air limbah yang telah bersih dari limbah padat. Tim kemudian menumbuhkan berbagai jenis alga, baik monokultur maupun campuran. Ada pula alga yang diambil dari teluk kota itu. Pada beberapa tangki juga dimasukkan ikan pemakan alga. Perlakuan itu untuk mencegah pertumbuhan alga yang berlebihan yang nantinya malah berdampak buruk pada produksi.
Meski hasilnya cukup baik dan sesuai dengan kebutuhan pengusaha, Bhattacharjee menilai perlu penelitian lanjutan. Salah satunya untuk memastikan kondisi ideal budi daya alga berbasis limbah itu. Pasalnya, dalam penelitian serupa di Kansas, AS, hasil penguraian fosfor empat kali lebih rendah ketimbang penelitian di Houston. Bhattacharjee menilai cuaca bisa jadi sebabnya. Penelitian di Houston berlangsung pada musim panas dan gugur sehingga temperatur tangki lebih hangat jika dibandingkan dengan saat penelitian di Kansas. "Jika cuaca benar berpengaruh, budi daya ini akan lebih ekonomis di daerah selatan," tambahnya.
Ini juga dapat menjadi ide menarik bagi negara tropis seperti Indonesia. Pengembangan energi terbarukan dari alga sebenarnya juga sedang diupayakan di Indonesia. Alga termasuk dalam salah satu dari lima energi baru terbarukan (EBT) yang dikembangkan bersama oleh Pertamina dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Keduanya menandatangani nota kesepahaman pengembangan energi itu pada 2010. Selain alga, yang dikembangkan ialah panas bumi, angin, gas metana, dan gas alam yang terkandung dalam batuan shale (shale gas). Namun, beberapa waktu lalu Pertamina mengungkapkan pengembangan bahan bakar nabati (BBN) tersebut masih terkendala, salah satunya karena harga bahan bakar alternatif yang lebih tinggi daripada migas.