PARA pria dan perempuan itu telentang di rumput berlapis karet. Tangan mereka saling berpegangan, mata terpejam. Bali Spirit Festival memang riuh karena pada kali ke delapan penyelenggaraannya kali ini, ada 2.000 peserta yang terdaftar. Namun, kelas yoga, sebagai mata acara favorit di acara tahunan ini, juga khidmat sekaligus menyenangkan dengan caranya masing-masing. Pria yang menopang tubuh perempuan dengan kakinya, serta berbagai atraksi akrobatik lainnya, dipertunjukkan dan diajarkan di kelas Acro Yoga yang pengajarnya datang dari Skotlandia dan Venezuela.
Ada pula label One Song Yoga dan Empowered Arts Yoga yang pelatihnya berasal dari Amerika Serikat (AS). Di area lainnya di Purnati Center of Arts dan Agung Rai Museum of Art, lokasi festival yang diselenggarakan 31 Maret hingga 5 April itu, ada pula Partner Yoga, Ethnochoreology, hingga Yoga for Peace dari Bali yang diajarkan Noga Weiss, perempuan asal Jerman. Di kelas Alchemy Yoga, tawa dan tangis menyeruak. Puluhan peserta yang membentuk lingkaran berkelompok itu awalnya secara bergantian bernyanyi dan menari.
Selanjutnya, mereka diarahkan menghela napas dalam-dalam dan mentransferkannya energinya kepada orang di depannya. Mereka saling bertatapan. Alunan musik menyempurnakan suasana nan tenang. Selebritas yang kini jadi pelatih yoga, Anjasmara dan beberapa warga Indonesia lainnya, menjadi minoritas dari banyaknya peserta yang datang dari berbagai belahan dunia. Sosok sang pengajar Anthony Abbagnano yang menggelar kelasnya di Bali, serta Alchemy of Breath yang menjadi tema kelasnya, sukses memikat para peserta workshop di hari ketiga. Lebih dari dua jam mereka melakukan hal serupa, repetisi dari gerakan-gerakan sebelumnya. Namun, berkat kekhusyukan, latihan olah napas disertai ucapan 'saya cinta kamu, saya berkati kamu, dan saya biarkan kamu pergi', sukses membuat para peserta merasa jiwanya dipulihkan. Energi-energi buruk dikikis, digantikan energi cinta.
Perjalanan menuju jiwa Kendati panorama eksotis eksplorasi berbagai gerakan tubuh dan penggalian jiwa terlihat di berbagai area acara, salah satu inisiator acara ini, I Made Gunarta, 51, dan pengajar yoga Ketut Arsana sependapat, eksplorasi belum bergeser banyak dari olah fisik. "Baru sebatas Asana Yoga atau melakukan postur dan gerakan yoga. Sistem eksplorasinya banyak cara dengan berbagai gesture, tapi berujung pada tujuan yang sama, yaitu sehat, tapi masih sedikit yang telah meningkatkannya ke spiritualitas," kata Gunarta.
Ubud dan yoga Ubud kini memang tak hanya mendunia dengan sawah-sawah hijau nan indah serta wajahnya yang menenangkan, tak seperti Denpasar, yang telah riuh. Yoga telah menjadi salah satu identitas Ubud. Rumah-rumah yoga, yang secara khusus mengajar pemula juga kalangan profesional terus bertumbuh, menawarkan berbagai paket pelatihan. Yoga pun kemudian dipadukan dengan berbagai metode penyembuhan yang memadukan teknik pengobatan timur, mulai homeopati hingga fisioterapi tradisional. Tak jarang, juga menyertakan unsur kemampuan para penyembuh atau healer yang terbukti ampuh, tetapi sulit dijelaskan secara rasio.
Mereka mampu mengindikasi dan mendiagnosis penyebab fisik dan jiwa yang sakit, serta mengajukan berbagai solusi yang mengedepankan penataan hati dan pikiran. Bali Spirit Festival, kata Gunarta, menjadi salah satu penanda Ubud sukses meramu akulturasi budaya, memasaknya menjadi hidangan yang kemudian membuat manusia dari berbagai belahan dunia bertandang. Mereka bukan sekadar pelancong, tetapi terlibat dalam berbagai aktivitas yang melibatkan penduduk lokal secara intens. Pulang ke negerinya, mereka tak hanya membawa suvenir, tetapi membawa serta Ubud dan Bali di dalam hatinya.
"Karena pada prinsipnya budaya itu bisa dikemas. Jika dikemas dengan benar, itu justru membuat budaya itu semakin dikenal," ungkap Gunarta. Bersama sang istri Meghan Beth Pappenhein, 44, dan seorang kawan, Rob Webber, 44, pria kelahiran Ubud ini menemukan yoga dan olah spiritualitas di kampungnya bisa menjadi solusi ketika Bom Bali meluluhlantakkan industri wisata. "Titik tolaknya ketika bom Bali terjadi, apa yang menarik untuk orang tertarik datang ke Bali? Jawabannya adalah budaya. Maka, kami membuat Bali Spirit Festival," ujar Gunarta.
Kini ketika yoga sukses menjadi salah satu pemikat kunjungan warga asing di Ubud, Gunarta menekankan yoga yang kini baru berfokus pada kesehatan, nantinya akan naik tingkat menuju penguatan rohani sehingga yang dampaknya meluas ke sekitarnya. Ketut Arsana mengingatkan bahwa terdapat delapan tingkatan yoga, yaitu Yama (kode moral), Niyama (pemurnian diri dan studi), Asana (postur), Pranayama (kontrol napas), Pratyahara (kendali akal), Dharana (konsentrasi), Dhyana (meditasi), Samadhi (penyerapan ke dalam). "Memang fisik harus kuat agar bisa mencapai kekuatan rohani. Sekarang orang mengemas yoga dengan berbagai macam label, itu sah-sah saja. Yoga ialah ajaran yang universal, menjadi spiritual bukan berarti harus menjadi pemuka agama," jelas Gunarta.
Menularkan semangat dan konsep Perjalanan itu terus dirintis. Di kelas spiritual nutritions yang dipandu Hillary Hitt, topik kekayaan jiwa yang menyejahterakan diri dan sekitar dikupas. "Yoga begitu penting dalam kehidupan saya. Ubud menjadi tempat yang memiliki suasana alam dan energi yang sesuai, terlebih untuk festival ini," ungkap Blanca Sinmas, 25, warga Spanyol peserta kelas itu. Selain didukung oleh kondisi alam Ubud, Gunarta menekankan bahwa festival ini mampu bertahan karena berbasis komunitas dan sukarelawan. Bali Spirit Festival bahkan menularkan semangat dan konsepnya hingga ke ranah global. Kini di Jakarta dengan Namaste Festival serta Byron Bays Spirit Festival di Australia.
Peserta sebelumnya Daya pikat Bali Spirit Festival, kata Gunarta, terbukti pada 50% pembeli tiket, tahun sebelumnya juga menjadi peserta. Kendati begitu, Gunarta tetap berkomitmen, ajang ini sebagai alat ungkit bagi Ubud, bukan untuk bisnisnya. "Saya tidak mengomersialkan spirit, tapi ada pengeluaran yang harus dibayar. Festival ini ingin mengembalikan tiga pilar Tri Hita Karana yang jadi pegangan warga Bali, spiritualitas, humanitas, dan lingkungan," kata Gunarta yang merintis festival ini dari awalnya hanya diikuti 250 peserta.
"Semua untuk membiayai operasional festival dan pendayagunaan masyarakat. Keuntungan justru didapat dari dampak setelah Bali Spirit Festival. Saya punya Yoga Barn, semacam rumah yoga dan kafe," ungkap Gunarta. Kerja keras menggelar festival pun berbuah pada kian kuatnya kultur yoga di Ubud. Om Ham Retreat, salah satunya. Beroperasi sejak Oktober 2014 lalu, rumah yoga yang menawarkan paket pelatihan serta berbagai teknik penyembuhan ala timur ini telah sukses memikat pengunjung. "Rata-rata pengunjung ambil paket tujuh malam," ungkap Made Arsajaya, salah satu pengelola Om Ham. Siapa kuasa menolak bertandang ke Ubud, menikmati semilir angin dan suasana desa yang tenang, sambil memulihkan batin yang sebelumnya selalu riuh rendah didera tenggat waktu dan target?