Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Interpretasi Perupa atas Pemberitaan

Galih Agus Saputra
03/5/2019 18:15
Interpretasi Perupa atas Pemberitaan
Pameran Dunia Dalam Berita(MI/ Galih Agus Saputra)

DUNIA Dalam Berita, adalah program berita yang terkenal di era 70-an hingga 90-an. Sebagai program berita di stasiun televisi TVRI yang merupakan stasiun televisi pertama, Dunia  Dalam Berita ibarat tontonan wajib bagi mereka yang ingin mengetahui perkembangan situasi di masyarakat.

Baru-baru ini, judul program berita tersebut diintepreatsikan ulang Museum Macan dalam sebuah pameran karya perupa Indonesia, yang aktif pada pertengahan 1990an hingga pertengahan 2000an. Pameran diberi tajuk sama yaitu Dunia Dalam Berita dan dibuka sejak 1 Mei hingga 21 Juli mendatang.

Direktur Museum Macan, Aaron Seeto dalam siaran pers yang diterima Media Indonesia mengatakan, pameran tersebut membahas hubungan antara praktik berkesenian dan pengaruh peristiwa politik dalam sebuah periode penting di Indonesia. Reformasi dirasa memiliki dampak signifikan terhadap peningkatan kebebasan berekspresi, transformasi lanskap media massa dan artisik, sekaligus membuka kesempatan luas bagi para perupa untuk mengakses informasi, dan memfasilitasi cara-cara baru untuk mengekspresikan ide kepada publik.

"Dunia Dalam Berita diintepretasikan ulang sebagai cara-cara perupa melihat dunia lewat pemberitaan dan media massa, dan Macan dengan bangga menampilkan karya-karya para perupa yang, melalui berbagai cara, memengaruhi cara publik memandang seni," imbuhnya.

Dengan meminjam judul Dunia Dalam Berita, pameran itu menampilkan karya-karya dari dua generasi perupa yang berbeda. Pertama, adalah perupa yang memiliki bahasa artistik dan seiring dengan pengalaman mereka pada masa perubahan sosial-politik seputar Refomasi. Kedua, adalah perupa yang lahir setelahnya dengan pembuatan gambar yang meskipun tetap politis, namun ditandai dengan pendekatan yang lebih bersifat grafis. Setidaknya, ada sejumlah perupa dan kolektif seni yang karyanya turut dipajang dalam pameran tersebut. Antara lain, Agus Suwage, FX. Harsono, Heri Dono, I Gak Murniasih, I Nyoman Masriadi, Krisna Murti, Mella Jasmara, S. Teddy D., Tisna Sanjaya, dan Taring Padi.

Seri poster kemanusiaan

Pembukaan pameran Dunia Dalam Berita di Museum Macan, Kebon Jeruk, Jakarta sendiri dihadiri Aaron, Kurator Museum Macan, Asep Topan, Perupa dari Kolektif Seni Taring Padi, Hestu A. Nugroho, Perupa, Mella Jaarsma, dan Perupa, Tisna Sanjaya. Taring Padi sebagai kolektif seni dibentuk di tengah gejolak politik menjelang akhir rezim Soeharto pada 1998, dan dikenal dengan aktivisme sosialnya yang konsisten lewat poster berisi pesan politis serta keadilan sosial.

Karya Taring Padi biasa dibuat dengan teknik cukil (woodcut). Beberapa diantaranya sudah pernah dipajang dalam pameran kelas nasional dan internasional, seperti di Museum Nasional, Jakarta, dan 31st Century Meuseum, Chiang Mai, Thailand. Tidak hanya itu, Taring Padi bahkan pernah berpartisipasi dalam pameran kolaborasi aktivisme dan seni-budaya dari Indonesia bertajuk Sisa: Re-use, di University of Technology, Sidney, Australia. Pada 2018 lalu, mereka juga sempat menggelar peringatan 20 tahun berkarya dalam sebuah pameran retrospektif di Institur Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta.

Sementara itu, dalam pameran kali ini setidaknya ada delapan karya dari Taring Padi yang dipajang. Antara lain, dua spanduk berjudul Free Land and Farmer Give Life to All (2003) dan Workers Unite (2003), serta Humanitarian Poster Series (1999) yang terdiri dari enam poster. Karya-karya itu berbicara soal tanah dan jerih payah petani, sekaligus persatuan buruh yang menolak penindasan. Tidak hanya itu, seri poster juga memuat pesan perdamaian, serta pembangunan tanpa senjata dan kekerasan.

Hestu dalam kesempatannya bicara pada pembukaan pameran mengatakan bahwa, Dunia Dalam Berita mengingatkan dirinya akan masa dimana pemberitaan selalu mengarah pada kekuasaan. Meski demikian, ia juga mengatakan bahwa relevansi karya Taring Padi untuk masa kini sudah berbeda, walau hal tersebut tidak lantas menyurutkan niatnya dalam berkesniaan.

"Reformasi sudah terjadi, tapi bukan berarti pekerjaan itu sudah selesai. Makannya kawan-kawan di Taring Padi berasumsi bahwa hal itu harus disikapi secara kebudayaan. Bahwa kebudayaan itu ada di kehidupan sehari-hari dan cara befirkir, dan itu yang kemudian selalu menjadi prioritas kami. Misalnya, dalam hal kesetaraan gender, kemanusiaan, lingkungan hidup, itu semua kalau diurutkan sebenarnya berasal dari irisan-irisan besar, dari persoalan general yang dihasilkan dari sebuah sistem sebelumnya yang bahkan sampai sekarang belum berubah," imbuhnya.  

Anti kekerasan

Almarhum Teddy ialah perupa yang pernah menempuh pendidikan seni lukis di ISI Yogyakarta. Ia dikenal sebagai seniman yang kritis terhadap kekerasan dan militer, sekaligus tidak mau terpenjara dengan pakem estetika dalam hal daya cipta. Pameran Dunia Dalam Berita kini kembali menampilkan karyanya, yang mana kaya akan eksplorasi artistik dan makna. Setidaknya, ada dua karya Teddy yang cukup mengundang perhatian pengunjung jika dilihat dari tampilannya, yaitu instalasi berjudul Tak Kutuk Dadi Watu (1999) dan Viva La Muerte (2000-2).

Tak Kutuk Dadi Watu (1999) merupakan kritik Teddy atas situasi dan kondisi masyarakat di era modern. Ia menggangap manusia kerap berubah menjadi patung saat berada di depan televisi. Alih-alih mengutuk manusia itu sendiri, Teddy justru mengutuk televisi sebagai produk kebudayaan manusia agar menjadi patung. Konon, bebatuan yang dipahat menjadi patung televisi itu didatangkan langsung oleh Teddy dari dataran cadas yang ada di Gunung Kidul. Karya ini kemudian turut menjadi bukti bahwa Teddy, yang semula menempuh pendidikan seni lukis di ISI, tidak mau berhenti pada seni lukis dalam berkreasi.

Sementara itu, Viva La Muerte (2000-2) atau yang dalam Bahasa Indonesia berarti 'panjang umur kematian' ialah karya Teddy yang berbentuk seperti binatang. Karya ini terbuat dari baja berwarna hijau, barel minyak, dan sepatu lars yang biasa menjadi properti militer. Mata merah pada patung ini menandakan dirinya adalah seorang predator. Material yang digunakan dalam instalasi ini dipercaya menjadi simbol kekerasan dan eksploitasi sumber daya alam Indonesia. Bentuk binatang, dan mata merah yang bersinar seakan lengkap menggambarkan mahluk yang menyeramkan.

Seniman lain yang konsisten terhadap isu anti kekerasan ialah Tisna. Baginya, karya-karya yang lahir pada masa silam itu masih tetap relevan dengan persoalan masa kini walau sifatnya sudah lebih kontekstual. "Baik secara teknis maupun bentuk sungguh luar biasa kalau saya lihat karya-karya itu. Oleh karena itu, dapat menjadi bahan pembelajaran di era sekarang, yang mana saya secara personal beranggapan kritisisme seni pada jaman itu dan sekarang sudah jauh berbeda terhadap bagaimana menyikapi sebuah rezim maupun situasi di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu pula, posisi saya sebagai seniman saat ini melihat kondisi tersebut berharap ada partisipasi yang lebih baik dan opitimis dalam membuat karya seni," tuturnya.  

Adapun karya Tisna yang dipajang dalam pameran ini ialah Tahun-tahun Kunjungan ke Indonesia (1999). Karya ini berupa instalasi yang buat dari material seperti cat minyak, kanvas, bambu, kawat besi, lampu LED, dan kain. Kali pertama berkunjung ke pameran ini, karya Tisna memang menjadi salah satu instalasi yang cukup mengundang perhatian. Dari kejauhan, tampaknya lebih seperti pagar penutup pasar malam. Lengkap dengan kerlap-kerlip lampu, dan lukisan di atas material papan yang ukurannya cukup lebar. Namun, ketika didekati, persepsi tersebut sontak berubah karena sejumlah teks didalamnya sarat akan pesan yang mengingatkan masa dimana terjadi tragedi kemanusiaan. Di antaranya, ada tulisan Semanggi, Aceh, Ambon, hingga Sampit. (M-1)

Baca juga: Suka Menciumi Binatang Peliharaan? Saatnya Waspada Bahaya Ini



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Bintang Krisanti
Berita Lainnya