PERAYAAN Paskah tahun ini menjadi momen penting. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku harus menjaga keutuhan. Kehidupan umat beragama pun mutlak kita jaga bersama. Sebagaimana pendiri bangsa, Soekarno, mengejawantahkan lewat Pancasila. Di tahun ini, perayaan Paskah berlangsung dengan berbagai cara. Masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT) punya cara unik untuk memaknai peristiwa bersejarah itu. Budaya lokal pun bercampur erat. Itu membuat ada keunikan tersendiri. Masyarakat menggambarkan penderitaan Yesus Kristus lewat jalan salib di Larantuka. Sementara pawai kemenangan dihelat di Kupang, ibu kota NTT. "Tahun ini, GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor) kembali menggelar pawai kemenangan di Kupang. Ada tradisi-tradisi gerejawi yang masih dipegang erat masyarakat. Ini sebagai simbol eksistensialisme," ujar teolog Kristen Protestan, Andreas Anangguru Yewangoe, pertengahan pekan ini.
Andreas, kini berada di Kupang, mengakui tradisi jalan salib merupakan tradisi religius yang 'dipelihara' pemeluk Katolik Roma. Tak mengherankan, prosesi jalan salib pun dihilangkan dalam tradisi gereja-gereja reformasi. Dalam perayaan Paskah, masyarakat di Kupang selalu menggelar pawai keliling kota. Masyarakat pemeluk Islam, Hindu, dan Buddha, juga ikut terlibat. Itu sebagai bentuk nyata ada toleransi kuat dalam hidup umat beragama. Paskah berasal dari bahasa Latin, pascha dan bahasa Ibrani, pesah. Paskah menjadi perayaan terpenting dalam liturgi gerejawi. Bagi umat Kristen, Paskah identik dengan Yesus. Jemaat Kristen percaya, Yesus disalibkan, mati, dan dikuburkan; dan pada hari ketiga Yesus bangkit di antara orang mati. Ini sebagaimana yang tercatat dalam Injil di Perjanjian Baru.
Tahun lalu warga begitu antusias mengikuti pawai kendaraan keliling Kota Kupang. Berbagai kendaraan dihiasi dengan gambar warna-warni dan berbagai pesan yang ditulis pada kain mengenai kemenangan Yesus atas maut. Sepanjang perjalanan, umat terus melantunkan tembang gerejawi. Diiringi musik yang diangkut menggunakan truk bak terbuka. Kali ini warga juga menggelar acara pawai serupa. Ini memberikan bukti penting. Masyarakat tetap antusias. Mereka menjaga kebersamaan lewat perayaan Paskah. Di era 90-an, masyarakat masih menggunakan obor untuk pawai keliling dusun hingga kota/kabupaten di sejumlah tempat di NTT. Itu dilakukan di subuh hari sebelum kebaktian Minggu. Di suasana gelap-gulita itu, satu per satu umat menyalakan obor sebagai penerang. "Anak-anak hingga orang tua pun berbondong-bondong. Semua berjalan sambil menyanyikan lagu-lagu gerejawi," kisah Andreas.
Terang dunia Tradisi menggunakan obor menjadi sebuah cara tradisional sebagai alat penerang. Obor pun menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat di dusun-dusun. Penggunaan obor dalam pawai keliling di Kupang sebagai simbolisasi terang. "Saya menduga obor sekadar simbolisasi terang dunia. Ada terang (kebenaran) lewat api obor. Obor ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat di pedalaman NTT untuk di bawah ke mana-mana di malam hari," papar Andreas, yang juga mantan Ketua Umum Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia. Sementara itu, perayaan Paskah di Flores juga berlangsung meriah. Tradisi jalan salib dalam perayaan semana santa (pekan suci) masih kuat. Umat Katolik di Larantuka merayakan setiap tahun dengan melibatkan ribuan orang.
Mereka menggelar prosesi pengarakan Arca Yesus (Tuan Meninu) lewat laut dari Kota Rewido menuju Pante Kuce, depan istana Raja Larantuka. Tradisi itu sudah digelar beratus tahun. Tak lain ialah warisan bangsa Portugis, yang pernah menguasai kawasan tersebut. Koreografer Maria Bernadetha Aprianti pernah mengangkat prosesi jalan salib lewat seni tari. Itu sebagai bentuk untuk mengangkat tradisi yang lekat dengan perayaan Paskah. Ia pun menuangkannya lewat karya berjudul Tani Ata (2002). Perempuan berdarah Maumere kelahiran Jakarta, 5 Oktober 1976, itu, selalu mengusung unsur lokalitas Flores. Pengaruh unsur religius juga kuat lewat Tani Ata. Ia mengaku terinspirasi dari penderitaan Yesus. "Di tari ini, saya memasukkan simbol lewat mata tertutup," tutur Etty, sapaan akrab Bernadetha.
Tak hanya itu, ia juga pernah mementaskan dua karya bertema religius lainnya. Ada Oneg Illin Laleng Engar (1999) dan Lameng Liar (2003). Bila Oneg Illin Laleng Engar mengangkat ritual semana santa di Larantuka, Lameng Liar mengangkat penyucian 12 murid Yesus, sang 'Anak Domba'. Lewat seni tari, Etty tak mau melupakan tradisi di Flores. Ada banyak gejolak sehingga ia tuang lewat koreografi. Ia pun pernah mementaskan karyanya di Bates Dance Festival di Lewiston, Maine, Amerika Serikat (2003) dan Super Dance from Folk to Modern di Saint Petersburg, Rusia (2014). "Saya mengusung pendekatan modern. Namun, ada sentuhan tradisi Flores," papar istri Aidil Usman itu. Di tempat terpisah, budayawan sekaligus rohaniwan Franz Magnis Suseno dalam sebuah pertemuan menyatakan keberadaan agama tidak akan lepas dari pengaruh budaya lokal. Unsur lokalitas akan kian memberikan dampak atas peradaban. "Saya pernah beberapa kali ke Kupang. Di sana tradisi perayaan Paskah sangat meriah. Itu membuktikan agama hadir tanpa menghilangkan budaya lokal," paparnya. Lewat perayaan Paskah, ritus keagamaan masih tumbuh subur dalam tatanan masyarakat di Tanah Air. Umat Nasrani di NTT memaknainya secara simbolik, yaitu lewat prosesi jalan salib hingga pawai kemenangan dalam menggambarkan kematian hingga kebangkitan Yesus.