RUSWANTO mengawali hari itu dengan kaget. Bersama dengan timnya, Koordinator Flying Squad WWF di Taman Nasional Tesso Nilo, Pelalawan, Riau, itu mendapati jejak gajah liar tidak jauh dari kampnya. "Jadi (gajah) masuknya malam Minggu, tapi kita baru thau paginya. Lihat pohon-pohon pisang sudah ambruk," kata Riswanto saat ditemui di Tesso Nilo, Selasa (24/3). Dari bekas jejaknya, gajah liar yang diperkirakan hanya 1 ekor itu juga masuk ke kawasan Desa Lubuk Kembang Bungo yang berada di timur kamp. Beruntung tidak terjadi keributan ataupun kerusakan parah. Salah satu mahout (perawat gajah) mengungkapkan dalam sebulan biasa terjadi 3-4 kali insiden gajah liar masuk ke permukiman. Biasanya gajah datang dari arah selatan atau barat taman nasional seluas 68 ribu hektare itu. Sedapat mungkin gajah akan dicegah menuju timur yang juga merupakan letak Desa Air Hitam. "Sebenarnya bukan salah gajah. Ini semua dulu rumah dia dan gajah itu jalannya kan di trek yang itu-itu, tidak berubah. Ketika berubah jadi desa atau kebun, ya gajah tahunya tetap saja bahwa di situ dulu jalannya dia," tutur Riswanto sembari kami menunggang gajah patroli.
Patroli Untuk meminimalkan konflik gajah liar dengan warga, WWF Flying Squad memang rutin berpatroli. Ada delapan gajah terlatih/jinak yang digunakan tim dengan 10 mahout itu. Patroli dengan gajah dilakukan saban Sabtu dan Selasa dengan jarak tempuh masing-masing 15-20 km. Di luar Sabtu dan Selasa, patroli dilakukan para mahout dengan menggunakan sepeda motor. Namun, Selasa pagi itu, perjalanan gajah yang kami ikuti hanya menempuh jarak total 5 km karena tujuannya untuk memandikan. Dari kamp kami berjalan ke arah selatan lalu belok ke barat. Rombongan kami terdiri dari enam gajah, tapi satu tidak ditumpangi karena baru berusia 2 tahun. Sepanjang perjalanan trek Lubuk Balai itu kami melewati rawa, anak-anak dan hutan yang cukup rapat.
Sampai di Sungai Tesso Nilo, kelompok gajah yang terdiri dari 2 gajah jantan dewasa, 2 gajah betina, dan 2 anak gajah itu dibiarkan main air. Sari Tua, mahout untuk gajah jantan dewasa berusia 30 tahun bernama Indro, menuturkan patroli harus dilakukan berkelompok agar penggiringan berhasil. "Intinya supaya warga aman dan gajah juga selamat," tuturnya. Penggiringan gajah jinak sebenarnya opsi kedua setelah penggiringan dengan meriam tidak berhasil. Meriam dibuat dengan pipa paralon dan hanya dimaksudkan mengeluarkan suara keras untuk mengusir gajah. "Sering juga kita ketemu dengan orang yang mungkin saja pemburu, tapi kita tidak bisa menangkap, hanya memperingatkan," tambah Sari. Kemampuan membuat meriam juga diajarkan kepada masyarakat sekitar. Namun kehadiran tim mitigasi konflik tetap diperlukan. "Warga biasanya, kalau ngusir, yang penting (gajah) enggak ke tempat mereka. Nah kan malah bisa jadi ke tempat orang. Padahal yang benar itu harus sama-sama menggiring gajah masuk hutan," tutur Riswanto.
Konflik tinggi Kerapnya gajah liar masuk ke kawasan warga atau perkebunan juga terjadi di Kecamatan Minas, Kabupaten Siak. "Baru tadi malam kami mengusir gajah liar. Di sekitar sini ada 20-30 ekor gajah liar," ujar Kepala Bidang Wilayah II Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau, Supartono, saat ditemui di Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas, Rabu (25/3). Di PLG yang berdiri sejak 2002 itu terdapat 17 gajah jinak yang bisa digunakan untuk mengatasi konflik. Sejauh ini dikatakan tidak ada konflik di daerah sekitar yang menyebabkan korban. Hal serupa juga dikatakan Ruswanto. Sejak kehadiran Flying Squad di Tesso Nilo mulai 2004, pihaknya berhasil menghindarkan adanya korban akibat konflik gajah dan manusia. Namun, beberapa hari sebelumnya di Kabupaten Bengkalis, seorang penjaga kebun sawit tewas diinjak gajah liar.
Metode pengusiran gajah yang salah membuat gajah itu keluar dari satu kebun, tapi masuk ke kebun penjaga nahas itu. Sunarto, ahli spesies gajah dan harimau WWF, mengungkapkan tingkat konflik gajah dan manusia di Indonesia merupakan tertinggi di Asia Tenggara. Berdasarkan data pada 2011, terjadi 23 konflik. "Jumlah gajah yang terbunuh sekitar 20 ekor per tahun," ujar Sunarto. Memang selain dibunuh karena dianggap hama bagi perkebunan, lebih banyak gajah mati demi tujuan perdagangan gading. Tingkat kematian itu sangat menyedihkan karena berarti status terancam punah yang telah lama disematkan pada gajah makin mendekati akhir. Padahal, gajahlah yang berfungsi membantu penyebaran benih tumbuhan di hutan.
Sunarto mengungkapkan populasi gajah di Indonesia, yang berarti gajah sumatra (Elephas maximus sumatrensis) dan gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis), hanya tinggal sekitar 1.040 ekor. Di sisi lain, adanya tim patroli juga bukan solusi. Pasalnya, bagaimana mungkin terus menahan gajah tetap di hutan yang luasannya makin menyusut dan minim pakan? Menampung gajah di PLG juga bukan pilihan baik karena sumber daya yang terbatas. Maka, seperti yang dikatakan Sunarto, solusi paling baik ialah membuat wilayah tertentu sebagai tempat konservasi gajah. Wilayah itu pula yang dapat menjadi tempat pelepasliaran kembali gajah yang diamankan akibat konflik. "Tapi di Riau saya pikir nggak bisa karena tutupan hutan pun hanya bisa dipertahankan. Yang bisa mungkin di Aceh Tengah," tukasnya.