Cermin Festival Edinburgh di Yogyakarta

Dzulfikri Putra Malawi
27/4/2015 00:00
Cermin Festival Edinburgh di Yogyakarta
()
"Kekuatan festival mampu mengubah wajah kota. Insan kreatif seharusnya masih memiliki semangat untuk membuat kota tempatnya berkarya terangkat derajatnya di mata dunia. Selama ini Yogyakarta dikenal sebagi salah satu kota kreatif yang memiliki segudang festival berskala nasional dan internasional. Pergerakan para pelaku kreatif di sana diam-diam mampu membuat jaringan internasional tanpa harus mengubah kultur asli kesukuan dan tradisi.

Semuanya pun digerakkan oleh para komunitas kecil yang mampu mengubah perwajahan Yogyakarta dengan karya-karyanya. Contoh kecilnya, lihat saja jalan-jalan protokol dan pusat wisata. Semisal Malioboro kini, di sepanjang jalan tersebut selalu ramai dengan bermacam karya yang dipamerkan para seniman Yogyakarta.

Puluhan festival seperti Jogja seperti Jogja International Performing Art Festival, Yogya Arts Festival, Yogyakarta Contemporary Music Festival, Sound of Sand, dan masih banyak lagi menjadi bekal Yogyakarta untuk berevolusi menjadi kota festival yang bergengsi.

British Council pun mendorong inovasi dalam promosi seni dan budaya Indonesia dengan menghadirkan pengalaman Festival Edinburgh dalam lokakarya bertajuk Manajemen Festival dan Branding Yogyakarta yang sudah berlangsung sejak Juni tahun lalu dengan menghadirkan pakar festival internasional seperti direktur program City of Culture kora Derry, Londonderry, Shona McVarthy.

Para peserta melakukan forum diskusi kelompok untuk mengangkat berbagai isu penting terkait tantangan penyelenggaraan festival seperti metode penggalangan dana, strategi dan promosi serta program perencanaan festival yang berkesinambungan setiap tahunnya.

Dari dua kali lokakarya tersebut, para peserta yang berasal dari pelaku kreatif di Yogyakarta telah bersepakat untuk bergabung dalam satu forum yang akan merealisasikan festival bersama di bawah bendera Jogjafestivals yang akan diluncurkan tahun ini.

Reputasi Edinburgh sebagai kota yang termahsyur dengan kota festival telah mengakar sejak lama. Festival internasional yang pertama saja sudah digelar tahun 1947 pasca perang duna kedua dan mengusung landasan “menjembatani perkembangan manusia”.

Festival tersebut kemudian berkembang sebagai kegiatan yang melibatkan 12 festival besar dan menghadirkan 25.000 seniman internasional serta diliput lebih dari 1.000 media yang terakreditasi. Lalu menjangkau 4 juta pengunjung serta berkontribusi menyumbangkan devisa negara sebesar 261 juta pundsterling atau setara lebih dari 5 triliun rupiah bagi Skotlandia.

“Kami ingin berbagi pengetahuan dari pengalaman di Edinburgh untuk bisa diakses teman-teman di Yogyakarta. British Council sebagai fasilitator untuk menciptakan program ini,” ungkap creative industry concultant of British Council, Falencia Hutabarat kepada Media Indonesia beberapa waktu lalu.

ASET NEGARA
Seharusnya, nafas festival memang berasal dari spirit para seniman di dalamnya. Festival pun ada dan dibuat untuk mengapresiasi maha karya mereka. “Festival kami untuk artis kami dan artis kami adalah audience kami. Seniman itu inti dari festivalnya,” ujar Falencia mengutik kata para penggagas festival di Edinburgh.

Hal senada juga disampaikan head of marketing and innovation Festival Edinburgh, James McVeigh, “Festival bukan untuk uang tetapi mengumpulkan orang bersama-sama untuk menikmati sesuati yang unik dari daerah itu sendiri”.

Ia juga menuturkan sebuah festival yang baik itu juga dijalankan berdasarkan passion, vision, dan etos yang kuat. “Atas dasar ini, apapun masalah yang terjadi akan menjadikan hal yang lebih besar. Ini yang akan diterapkan di Indonesia,” tambahnya.

James juga mengatakan apa yang dilakukan Festival Edinburgh sebagai bagian apresiasi untuk para seniman Indonesia yang secara rutin telah menghadiri Festival Edinburgh beberapa tahun terakhir. Ia berharap bisa terjadi kolaborasi yang lebih banyak lagi antara seniman Indonesia dan Inggris melalui lokakarya tersebut.

Banyak festival dan komunitasnya di Yogyakarta yang tidak ditanggap menjadi sebuah aset negara yang begitu berharga. Mereka justru bergerak secara militant tanpa dukungan pemerintah. Namun ada pula yang memang didukung oleh pemerintah kota dan dinas terkait. Sayangnya pelaksanaannya sering kali tidak sejalan dengan semangat festival itu sendiri.

“Pemerintah punya struktur sendiri, tantangan untuk bisa menggapai pemahaman itu harus dimulai dengan adaptasi,” ujar Falencia.

Lokakarya yang diselenggarakan ini diharapkan bisa memberikan pemahaman baru dan sudut pandang berbeda mengenai pelaksanaan festival kota. Pada tahap ketiga yang telah berlangsung akhir April lalu di Yogyakarta, British Council tengah menggandeng 18 direktur festival di Yogyakarta untuk melakukan lokakarya teknis terkait marketing dan strategi promosi. Pada tahap ini pembicara dari regional seperti direktur George Town Festival Penang, Joe Sidek dan direktur Ubud Writer Festival and Readers Festival, Janet de Neefe juga turut dihadirkan. (Fik/M-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya