"Kekuatan festival mampu mengubah wajah kota. Insan kreatif seharusnya
masih memiliki semangat untuk membuat kota tempatnya berkarya terangkat
derajatnya di mata dunia. Selama ini Yogyakarta dikenal sebagi
salah satu kota kreatif yang memiliki segudang festival berskala
nasional dan internasional. Pergerakan para pelaku kreatif di sana
diam-diam mampu membuat jaringan internasional tanpa harus mengubah
kultur asli kesukuan dan tradisi.
Semuanya pun digerakkan oleh
para komunitas kecil yang mampu mengubah perwajahan Yogyakarta dengan
karya-karyanya. Contoh kecilnya, lihat saja jalan-jalan protokol dan
pusat wisata. Semisal Malioboro kini, di sepanjang jalan tersebut selalu
ramai dengan bermacam karya yang dipamerkan para seniman Yogyakarta.
Puluhan
festival seperti Jogja seperti Jogja International Performing Art
Festival, Yogya Arts Festival, Yogyakarta Contemporary Music Festival,
Sound of Sand, dan masih banyak lagi menjadi bekal Yogyakarta untuk
berevolusi menjadi kota festival yang bergengsi.
British Council
pun mendorong inovasi dalam promosi seni dan budaya Indonesia dengan
menghadirkan pengalaman Festival Edinburgh dalam lokakarya bertajuk
Manajemen Festival dan Branding Yogyakarta yang sudah berlangsung sejak
Juni tahun lalu dengan menghadirkan pakar festival internasional seperti
direktur program City of Culture kora Derry, Londonderry, Shona
McVarthy.
Para peserta melakukan forum diskusi kelompok untuk
mengangkat berbagai isu penting terkait tantangan penyelenggaraan
festival seperti metode penggalangan dana, strategi dan promosi serta
program perencanaan festival yang berkesinambungan setiap tahunnya.
Dari
dua kali lokakarya tersebut, para peserta yang berasal dari pelaku
kreatif di Yogyakarta telah bersepakat untuk bergabung dalam satu forum
yang akan merealisasikan festival bersama di bawah bendera
Jogjafestivals yang akan diluncurkan tahun ini.
Reputasi
Edinburgh sebagai kota yang termahsyur dengan kota festival telah
mengakar sejak lama. Festival internasional yang pertama saja sudah
digelar tahun 1947 pasca perang duna kedua dan mengusung landasan
“menjembatani perkembangan manusiaâ€.
Festival tersebut kemudian
berkembang sebagai kegiatan yang melibatkan 12 festival besar dan
menghadirkan 25.000 seniman internasional serta diliput lebih dari 1.000
media yang terakreditasi. Lalu menjangkau 4 juta pengunjung serta
berkontribusi menyumbangkan devisa negara sebesar 261 juta pundsterling
atau setara lebih dari 5 triliun rupiah bagi Skotlandia.
“Kami
ingin berbagi pengetahuan dari pengalaman di Edinburgh untuk bisa
diakses teman-teman di Yogyakarta. British Council sebagai fasilitator
untuk menciptakan program ini,†ungkap creative industry concultant of
British Council, Falencia Hutabarat kepada Media Indonesia beberapa
waktu lalu.
ASET NEGARA Seharusnya, nafas festival memang
berasal dari spirit para seniman di dalamnya. Festival pun ada dan
dibuat untuk mengapresiasi maha karya mereka. “Festival kami untuk artis
kami dan artis kami adalah audience kami. Seniman itu inti dari
festivalnya,†ujar Falencia mengutik kata para penggagas festival di
Edinburgh.
Hal senada juga disampaikan head of marketing and
innovation Festival Edinburgh, James McVeigh, “Festival bukan untuk uang
tetapi mengumpulkan orang bersama-sama untuk menikmati sesuati yang
unik dari daerah itu sendiriâ€.
Ia juga menuturkan sebuah festival
yang baik itu juga dijalankan berdasarkan passion, vision, dan etos
yang kuat. “Atas dasar ini, apapun masalah yang terjadi akan menjadikan
hal yang lebih besar. Ini yang akan diterapkan di Indonesia,†tambahnya.
James
juga mengatakan apa yang dilakukan Festival Edinburgh sebagai bagian
apresiasi untuk para seniman Indonesia yang secara rutin telah
menghadiri Festival Edinburgh beberapa tahun terakhir. Ia berharap bisa
terjadi kolaborasi yang lebih banyak lagi antara seniman Indonesia dan
Inggris melalui lokakarya tersebut.
Banyak festival dan
komunitasnya di Yogyakarta yang tidak ditanggap menjadi sebuah aset
negara yang begitu berharga. Mereka justru bergerak secara militant
tanpa dukungan pemerintah. Namun ada pula yang memang didukung oleh
pemerintah kota dan dinas terkait. Sayangnya pelaksanaannya sering kali
tidak sejalan dengan semangat festival itu sendiri.
“Pemerintah punya struktur sendiri, tantangan untuk bisa menggapai pemahaman itu harus dimulai dengan adaptasi,†ujar Falencia.
Lokakarya
yang diselenggarakan ini diharapkan bisa memberikan pemahaman baru dan
sudut pandang berbeda mengenai pelaksanaan festival kota. Pada tahap
ketiga yang telah berlangsung akhir April lalu di Yogyakarta, British
Council tengah menggandeng 18 direktur festival di Yogyakarta untuk
melakukan lokakarya teknis terkait marketing dan strategi promosi. Pada
tahap ini pembicara dari regional seperti direktur George Town Festival
Penang, Joe Sidek dan direktur Ubud Writer Festival and Readers
Festival, Janet de Neefe juga turut dihadirkan. (Fik/M-6)