Belajar Menyenangkan tanpa Sekat

Siti Retno Wulandari
22/3/2015 00:00
Belajar Menyenangkan tanpa Sekat
(MI/IMMANUEL ANTONIUS)
MIKAIL Kaysan Laksmana, 11, meminta kembali belajar di rumah setelah sebelumnya belajar di ruang sekolah hingga kelas 3. Sembari melahap sosis bakar, Kaysan bercerita waktu bermain bersama kedua orangtua dan teman komunitasnya berkurang. Padahal, aku Kaysan, dirinya sangat senang bermain keliling museum, pengamatan ragam burung, dan memotretnya. Kaysan juga merasa kehilangan hobinya membaca koran ketika belajar di sekolah karena setiap pagi harus sudah bersiap pergi ke sekolah dengan sepedanya.

Kini, setiap pukul 07.00 pagi, Kaysan pergi me­ngaji ke masjid di dekat rumah. Sekembalinya ke rumah, ia membuka koran yang diterima pagi itu, membaca sembari tiduran di lantai. Setelah itu, sarapan dan pergi mengitari perumahannya untuk mencari dan memotret jenis burung tertentu. Begitulah kebiasaan pagi yang berat ia tinggalkan.

"Kalau Kaysan enggak baca koran, tau berita dari mana? Biasanya membaca kolom olahraga, komik, dan cerita bersambung," tukas bocah yang mulai membaca koran sejak sebelum masuk sekolah dasar di Jakarta, Rabu(18/3).

Fleksibel dan Target
Belajar itu untuk tumbuh dan kembang. Bukan sebatas persoalan akademik, melainkan juga kecakap­an hidup. Begitu Shanty Syahril, 40, menanamkan pola pikir untuk mendidik Kaysan. Ada kekhawatir­an yang sempat menggrecoki pikiran Shanty, ketika Kaysan lebih senang dan memilih belajar di rumah (homeschooling). Namun, setelah dimatangkan bersama suami, dibahas kembali apa tujuan dari proses belajar, mereka pun siap untuk berkomitmen terhadap proses homeschooling Kaysan.

Untuk pilihan waktu belajar, kata Shanty, bersifat fleksibel tidak dibuat peraturan khusus, begitu juga dengan bahasan pelajaran, tergantung pada keinginan anak. Meski fleksibel, ada target yang harus dipenuhi dalam setahun yang dievaluasi setiap enam bulan sekali.

"Target pasti ada supaya tahu perkembangan. Seperti satu hal yang saya terapkan, '1 hari 1 posting'. Kaysan harus menuliskan apa yang dia dapat dan pelajari pada hari tersebut. Pada periode tertentu, ia punya minat lain, seperti memotret ya kami persilakan. Dia menggunakan jejaring sosial saya untuk mengunggah jepretannya dan menyebarkan kepada kakak-kakak di komunitas yang ia geluti," ujar Shanty, ibu rumah tangga yang juga mengelola taman baca.

Tidak hanya akademis, Kaysan pun memiliki target di bidang atletik agar segera naik ke kelas middle. Ia pun berusaha mencapai dengan latihan sebanyak dua kali dalam satu minggu. Kegiatan lainnya ialah berkeliling museum dan menonton pentas Teater Koma, sembari belajar sejarah melalui media yang menyenangkan dan tetap dalam pengawasan orangtua. Shanty pun berpendapat, setiap orangtua dan anak yang memilih untuk menerapkan homeschooling, pasti merancang waktu belajar yang fleksibel, tetapi memiliki target.

Memasak, Cara Asik Belajar
"Masak, itu jadi agenda belajar paling menyenangkan. Anak-anak (Yudhis, Tata, dan Duta) bisa belajar banyak. Mereka harus mengerjakan sendiri sejak awal, harus kenal bahan, kalau tidak ada harus membeli yang berarti belajar komunikasi dan transaksi. Lalu bahan-bahan ditimbang, belajar konversi ukuran, semisal 2 liter air itu berapa gelas? Lalu kalau suhu yang digunakan fahrenheit harus konversi menjadi celcius," cerita Mira Julia, 36, yang akrab disapa Lala, sambil mempersiapkan makanan yang dibawa teman-teman komunitas Oase.

Sehabis memasak, anak-anak dibiasakan untuk merapikan peralatan dan membersihkan dapur guna menanamkan etos kerja dan daya tahan. Perempuan lulusan arsitektur UI itu mengaku sejak dulu tidak suka bersekolah. Bukan takut pada akademik, melainkan waktu bergaulnya berkurang.

Keinginan Lala tidak mendaftarkan anak di sekolah umum diperkuat sang suami, Sumardiono, yang kerap disapa Aar, 46. Aar merasa pendidikan hari ini semakin seragam, tidak ada penghargaan pada keunikan anak.

Sebelum menerapkannya, mereka berdiskusi dengan Yudhis, 13, Tata, 10, dan Duta, 6, apakah ingin sekolah di rumah atau sekolahan umum. Pernah suatu waktu Yudhis meminta sekolah, mereka pun menuruti keinginan anak sulungnya tersebut. Begitu pagi-pagi melihat kawan rumahnya sudah bersiap-siap hendak sekolah, Yudhis langsung membatalkan keinginannya.

"Beban berat dan capek. Sepupu aku kan sekolah, kalau mau ujian pasti ngeluh stres, pusinglah hehehe. Kalau aku enggak dong, belajar apa yang aku suka. Waktu ujian paket A, aku enggak gugup, percaya diri saja, eh tapi gugup deh waktu pelajaran IPS, hapalan sih hehehe," beber Yudhis yang mendapatkan nilai sempurna untuk mata pelajaran matematika. Anak-anak homeschooling tetap harus mengikuti ujian paket A, B, dan C sesuai umur mereka.

Kini, Yudhis sedang belajar secara daring mengenai teknologi 3D dengan mentor yang berada di Australia. Hasil rancangan Yudhis membuat mereka kagum, pelajaran yang seharusnya diterima mahasiswa justru sudah lebih dulu dipelajari anak usia sekolah kelas 3 SMP. Aar menggunakan pendekatan profesional dalam pengajaran homeschooling bagi ketiga anaknya, sehingga sertifikasi dan hasil belajar selalu menjadi prioritas bukan kepada cara mereka belajar.

"Saling melengkapilah. Kalau saya di bidang akademik, seperti pelajarannya apa tentu dengan proses diskusi bersama anak. Lala bagian eksekusi­nya, bagaimana supaya pelajaran ini menarik dan mudah diterima oleh anak," tukas laki-laki yang memutuskan untuk berhenti bekerja demi mendampingi ketiga anaknya belajar di rumah.

Lain Aar dan Lala, lain yang dirasakan Irma, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di salah satu sekolah menengah atas (SMA). Semenjak memutuskan untuk menyekolahkan Difi, 12, dan Dilan, 9, di rumah, Irma mendapat tentangan dari kedua orangtuanya. Irma memaklumi hal itu, keluarga besarnya berlatar belakang tenaga pengajar.

Irma mengaku sempat kesal karena metode yang ia terapkan di sekolah tidak mempan bagi kedua anaknya. Sejak itu ia sadar ada cara belajar lain selain meminta anak mengerjakan sesuatu.

"Saya dan suami sudah menyepakati ada cara belajar lain. Meskipun saya sempat belum bisa melepaskan paradigma, sekolah itu duduk di dalam ruangan dan belajar bersama teman-teman lain (deschooling). Perlahan kami bisa, keluarkan potensi anak, itu yang menjadi kata kunci," kata Irma.

Waktu belajar yang hampir sama dengan sekolah konvensional, misalnya satu mata pelajaran 90 menit dibagi 40 siswa di kelas itu. Pelajarannya pun sama dengan cara yang lebih menyenangkan, misalnya pelajaran IPS langsung ke museum atau bersama komunitas historia. Namun, semuanya menilai satu, baik sekolah biasa maupun di rumah sama baiknya. Tergantung akan kebutuhan dari anak itu sendiri. (M-4)

miweekend@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya