SEORANG Nasrani berkewarganegaraan Australia suatu hari pernah bertanya kepada saya, "Indonesia negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, informasi tersebut bisa dengan mudah saya dapatkan di internet. Tapi pertanyaan saya, apa makna keberadaan jumlah penduduk muslim yang banyak itu?"
Pertanyaan itu sangat sederhana, tetapi memang tidak mudah dijawab. Dengan banyaknya penganut agama lain juga di negara ini, Indonesia bisa dibilang mustahil menjadi negara Islam.
Dalam pemerintahan, pendiri negara dan pemimpin negeri ini juga hati-hati dan memilih tidak menjadikan kesamaan agama sebagai elemen pemersatu bangsa.
Bila berbicara sebagai agama yang mengajarkan konsep rahmatan lil alamin 'rahmat bagi semesta alam', nyatanya Indonesia pun harus diakui belum menjadi cerminan rahmat itu. Kriminalitas masih terjadi di mana-mana, korupsi juga menggerogoti negara ini.
Sejalan dengan itu, berdirinya negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) atau Islamic State of Irak and Suriah (ISIS) pada April 2013 telah menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam sedunia. Ada yang kemudian tertarik dan bergabung, tetapi banyak pula yang menentang karena dianggap tidak mewakili semangat dan karakter Islam sebagai penyebar rahmat bagi semesta. ISIS dianggap sebagai anak kandung Al-Qaeda yang menebarkan ketakutan dan terorisme bagi masyarakat dunia.
Kehadiran ISIS mencoreng cita dan citra Islam yang mengajarkan hidup rukun dan damai. Tidak tanggung-tanggung, ISIS bahkan mendeklarasikan dirinya sebagai kekhalifahan Islam yang berpretensi sebagai pemimpin Islam sedunia.
Untuk mengetahui lebih jauh apa makna dan sejarah kekhalifahÂan dalam Islam, Khomarudin Hidayat mengontak beberapa teman yang secara intelektual memiliki pengetahuan cukup, untuk membahas asal-usul pemerintahan politik dalam Islam. Lalu dikaitkan, bagaimana mestinya membangun hubungan antara ide kekhalifahan dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Akhirnya terbitlah buku Kontroversi Khilafah, Islam, Negara, dan Pancasila, diterbitkan oleh Mizan (2014) setebal 278 halaman, dengan menghimpun pemikiran dari 14 penulis.
Wartawan senior Trias Kuncahyono yang beberapa kali melakukan peliputan ke sejumlah negara Timur Tengah, juga dilibatkan dalam penulisan buku Kontroversi Khilafah, Islam, Negara, dan Pancasila. Dia menjabarkan sejarah pendirian ISIS dan perkembangannya, termasuk penyebarannya ke Indonesia.
Akar ISIS sebenarnya mudah dilacak. Ia lahir dari kandungan Al-Qaeda, hanya kemudian berkembang menjadi kelompok yang menebarkan rasa takut yang berlebihan, dibandingkan dengan induknya, bahkan lebih brutal. Akar ideologinya bermula dari Jemaat al Tawhid wal Jihad yang didirikan Abu Musab AL-Zarkawi pada 2002. Lelaki tersebut lahir dengan nama Ahmed Fadel Al-Khalaylah, seorang yang semasa kecilnya hidup dengan diwarnai kemiskinan dan tindak kriminal. Ayahnya yang pensiunan tentara dan sempat terlibat dalam pertempuran mempertahankan Jerusalem timur agar tetap menjadi bagian Yordania, meninggal pada 1984. Kematian ayah yang dekat dengannya itu mengguncang Abu Musab hingga menjerumuskannya ke dunia kriminal dan menjebloskannya ke penjara. Dari sanalah radikalisasi makin berkembang.
Trias Kuncahyono menyimpulkan, perselingkuhan antara agama dan politik tidak hanya mengukuhkan otoritarianisme, tetapi juga secara sosiologis dapat menjadi penyebab meluasnya kekerasan. Kekerasan atas nama agama adalah petaka yang sangat mengerikan.
ISIS menyebarkan teror fanatisme komunal, menggelorakan konflik sektarian, fanatisme dan fundamentalisme. Kesemuanya itu sangat berbahaya bagi kehidupan. Kelompok tersebut diperkirakan memiliki sekitar 10 ribu anggota bersenjata yang berasal dari berbagai belahan dunia, Eropa, Afrika, Timur Tengah, Australia, dan Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Benih radikalisme Merangkum apa yang menyuburkan benih radikalisme di Suriah dan Irak, Trias berpandangan instabilitas politik, sosial, ekonomi dan agama lantaran pemahaman agama yang dangkal, harus dicegah. Hal tersebut juga diamini Azyumardi Azra yang turut menulis dalam buku tersebut.
Menurutnya, gagasan khilafah di masa modern kontemporer dengan menyerukan pembentukan satu kekuasaan politik tunggal bagi seluruh umat Islam di muka bumi, dapat dipertanyakan kelayakan dan keberlangsungannya.
"Kalau umat muslim boleh jujur pada diri mereka sendiri, kesatuan macam itu tidak pernah terwujud, bahkan sebelum berakhirnya kekuasaan Khulafur Rasyidin. Hanya pada masa dua Khulafur Rasyidin pertama, Abu Bakar dan Umar bin Khattab, terwujud kesatuan itu," tulis Azyumardi yang pakar di bidang kajian Timur Tengah.
Berupaya mengingatkan butanya harapan negara Islam apalagi yang diperjuangkan dengan kekerasan, Komarudin menambahkan bahwa bila ingin menerapkan negara yang sesuai semangat Islam, dipastikan jauh dari radikalisme. Hal itu bisa dipahami bila mengali sejarah dan ajaran nabi Muhammad SAW.
Mengambil piagam Madinah sebagai contoh, di tengah penduduk yang sangat majemuk dari segi etnik dan kepercayaan di sana, sebelumnya selalu ada pertikaian dan perang yang tak ada habisnya. Lelah dan putus asa dengan konflik berkepanjaÂngan, para pemuka suku di Yatsrib (nama sebelum menjadi Madinah), berinisiatif mengundang nabi Muhammad hijrah dari Mekah guna memberikan mereka solusi untuk damai.
Secara etimologis dan konseptual, Madinah berarti pusat peradaban di mana warganya hidup bersama dengan aturan hukum dan etika sosial yang dijaga bersama demi membangun kebudayaan baru. Kesombongan dan fanatisme suku dirobohkan, diganti dengan nilai, semangat dan tradisi baru yang bersifat ilahi dan rasional yang bisa diterima semua kelompok.
Terkait hal itu, sentimen kesukuan Arab juga sentimen Islam sejatinya tidak sejalan dengan napas Islam. Harapan untuk membangun khilafah Islam di Indonesia yang demikian majemuk juga tidak beralasan. Lebih lanjut, hal itu pun tidak disyaratkan oleh Islam yang ajarannya disampaikan Nabi Muhammad.
Buku ini selain kaya materi historis untuk memperkuat landasan berpikir keislaman, juga mengingatkan hal yang patut diingat terkait agama dan kekuasaan. Ada kalanya agama dan ajaran baiknya bisa menguatkan suatu bangsa, ada kalanya agama dijual demi kekuasaan, ada kalanya agama dimanfaatkan untuk tujuan dan kepentingan-kepentingan tertentu. Di mana kita menempatkan agama dalam kehidupan bernegara, memiliki implikasi dan konsekuensi. Hal itu mestinya disari. (M-2)