BENDERA Merah Putih lusuh masih berkibar di sebuah tiang. Warnanya sedikit memudar. Di sudut kanan panggung ada honai beratap rerumputan. Rumah khas Papua itu bertuliskan 'Sekolah Terbuka'.
Di tengah kehidupan masyarakat Papua, ada persoalan tentang kebangsaan. Warga pun menginginkan pemekaran. Namun, ada pula yang masih setia untuk tetap bertahan hidup menanti untuk kelak bisa pergi ke Jakarta.
Di dalam penjara, berdekatan dengan honai, Ari (Pythos Harris) tampak gusar. Lelaki Papua itu mengerang seraya marah-marah. Cukup beralasan memang. Ia ditangkap satuan keamanan dengan tuduhan terlibat sebagai komplotan OPM (Organisasi Papua Merdeka). "Penjaga! Kasih keluar sa (saya) dolo (dulu). Ini salah tangkap! Cepat kou (kau) kasih keluar sudah," ujar Ari.
Tiga sipir alias Trio GAM (Guyonan Ala Mataraman) pun hanya menatap. Mereka melihat perlahan ke arah penjara seraya berbisik. "Tenang dulu. Sttt, diam! Di ruangan sebelah sedang dipakai ujian," ujar salah satu dari mereka dengan guyonan. Itulah sepenggal adegan pada lakon Tabib dari Timur suguhan Indonesia Kita di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pertengahan pekan ini. Indonesia Kita bentukan seniman asal Yogyakarta, Butet Kartaredjasa, menggandeng koreografer asal Papua, Jecko Simpo.
Tentu saja, keterlibatan Jecko bersama Animal Pop Dance memberikan suasana hidup, tidak seperti pentas teater realis yang bertumpu pada naskah baku. Kehadiran Trio GAM terdiri dari Gareng Rakasiwi, Marsudi Wiyono, dan Wibsen Antoro memberikan unsur guyonan. Ada perpaduan antara lawak dan ketoprak yang tumbuh subur dalam kesenian, terutama di Pulau Jawa.
Pada adegan lainnya, Komandan GAM (Marwoto) masuk dengan penuh wibawa. Ia berjalan dan duduk di kursi. Sejurus kemudian, ia pun mulai berceloteh. "Mentana (mencari tambahan nafkah) haha. Seorang pribadi bisa nyambi. Freeport sedang butuh keamanan," ujarnya. "Kita bisa daftar toh," teriak salah satu dari Trio GAM. "Ya bisa. Tapi, sekarang, panggil dulu mereka," sambung Komandan seraya melirik ke dalam penjara.
Ari bersama rekannya, Akbar (Insan Nur Akbar), asyik berbicara di dalam penjara. Ari bergaya ciri khas seorang anak Papua yang ceplas-ceplos. Cara berbicara serius, bernada tinggi, dan kaku. Sementara itu, Insan dengan latar belakang budaya Jawa Timur yang cuek dan humoris.
"Hai, dipanggil Komandan," ujar Wisben. "Adoh. Ada apa ini?" tanya Ari. "Ayo keluar saja dulu," timpal Joned. Ari pun bergegas keluar. Ia menjumpai Komandan untuk dimintai keterangan secara detail.
Namun, saat Komandan meminta data pribadi. Di situlah, lelucon demi lelucon pun jelas terlihat. Suasana pun cukup mencair. Pada bagian lainnya, Ari bernada keras. Saat itu, Komandan pun membalas dengan nada yang lebih keras. Itu membuat Ari ciut. Penonton pun ikut tertawa dengan tingkah Komandan yang kadang tegas dan kadang kemayu.
Batu sakti "Pak, pinjam topinya," ujar Akbar seraya melirik Komandan. "Tidak sama kepalanya?" cetus Komandan, semringah.
Pada adegan itulah tipu muslihat Ari dan Akbar muncul. Mereka harus meyakinkan Komandan agar bisa lari dari penjara. Ari punya 'kesaktian'. Ia memperlihatkan batu akik kepada Komandan dan Trio GAM. Tentu saja, itu sebagai taktik mengelabui para sipir. Hasilnya, Ari mampu memperlihatkan aksi. Ia menaruh batu di dalam topi. Sejenak, ia meminta Komandan untuk melihat secara sama. "Coba kou (kau) lihat. Ada tidak?" teriak Ari. "Ada," ujar salah satu dari Trio GAM.
Dalam hitungan ketiga, Ari pun melakukan sulap-sulapan. Ia meminta Komandan untuk melihat keberadaan batu di dalam topi. "Tidak ada. Batu kok hilang?" ujar Komandan seraya menggaruk kepalanya karena sedikit terheran-heran. Jeda semenit, batu pun muncul di tangan kiri Akbar. Komandan dan Trio GAM pun langsung hilang konsentrasi. Mereka merapalkan tangan di atas kepala dan duduk bersila di lantai. Mereka menyembah batu karena ada cahaya berkilau warna-warni.
Tentu saja, itu hanya tipu muslihat. Ari dan Akbar pun mampu mengelabui para sipir sehingga mampu keluar dari penjara. Atas pelarian itulah, keduanya pun memutuskan untuk pergi ke Ibu Kota. Mereka ingin mencari hal baru demi sebuah perubahan.
Lakon berdurasi sekitar 2 jam itu meÂnyuÂguhkan dance, musik, dan teater. Semua berpadu jadi satu dengan unsur teater populer. Ada lelucon dan ketegangan dalam setiap babak.
Pada bagian lainnya, Ari pun menjalani hubungan dengan istri Komandan (Febrianti Nadira). Itu terjadi saat ia merantau di Jakarta. Tentu saja, batu sakti itulah yang membuat Ari mampu bertahan di perantauan.
Pada pementasan Tabib dari Timur, ada sedikit hal yang mengganggu. Terutama pada blocking panggung. Itu membuat pementasan sedikit kurang apik di mata penonton. Namun, aksi Trio GAM membuat semua penonton seakan betah menyaksikan adegan demi adegan.
"Saya tidak sedang ingin ngompori, supaya Papua segera membulatkan tekad memisahkan diri dari keindonesiaan kita. Sebaliknya justru ingin mengukuhkan, sekaligus mengingatkan saudara-saudaraku yang bukan Papua. Terutama, para elite, bahwa Indonesia itu bukan hanya Jawa," ungkap Butet menanggapi pementasan kali ini.
Terlepas dari lakon yang sedikit sarat politik, aksi para dancer Animal Pop cukup lincah dan garang di atas panggung. Mereka memberikan aksi hip hop. Itu membuat penonton seakan ingin ikut berjoget. "Ini cara kami untuk membuat kesan tak terlupakan kepada penonton," pungkas Jecko. (M-6)