Begal Ulung

Ono Sarwono
22/3/2015 00:00
 Begal Ulung
()
SENDI kehidupan kita yang kini sedang sakit ialah terkoyaknya rasa aman rakyat kecil. Ini berkenaan dengan maraknya pembegalan, yaitu perampasan kendaraan bermotor di jalan yang sering menimbulkan korban, termasuk hilangnya nyawa. Kebrutalan tersebut nyaris terjadi silih berganti di hampir seluruh wilayah Tanah Air.

Yang menghenyakkan, bukan hanya karena kejahatan itu seperti menjadi tren, melainkan sebagian para begal ternyata para remaja yang masih berstatus siswa sekolah atau pelajar. Dari mana racun beringas yang menginjeksi nyali mereka sehingga memiliki keberanian luar biasa itu?

Bila dicari akar persoalannya, sangat kompleks. Namun, mendengar berbagai diskusi para pakar, mereka sependapat bahwa fenomena memiriskan itu pada satu sisi, tidak terlepas dari aspek pendidikan.

Pendidikan yang dimaksud, khususnya, karena minimnya asupan edukasi moral--akhlak, budi pekerti, dan susila--yang menjadi fondasi bangunan karakter seseorang. Ketiadaan itu bisa jadi akibat disfungsi keluarga maupun hampanya materi moral dalam pendidikan formal.

Pada bagian lain, bila kita renungkan, sesungguhnya begal dalam terminologi lebih luas, bukan hanya terjadi di jalanan. Aksi serupa juga mengecambah di lorong-lorong gelap kekuasaan. Dampak ini malah lebih mengerikan karena merusak tatanan berbangsa dan bernegara. Kualitas serta kemasifan daya hancurnya lebih menggiriskan.

Dalam ranah perpolitikan, begal juga seperti telah menjadi metode. Demi merengkuh kekuasaan, para pemburu nekat menghalalkan segala cara. Bahkan, ketika konflik perebutan kekuasaan sudah sampai di ujung, pengadilan tertinggi, pun di sana juga masih terjadi pembegalan.

Mencermati sikon yang demikian itu, kita sungguh khawatir bila negara ini sampai dikangkangi begal dengan segala penampakannya. Untuk mencegahnya, kita, terutama para pihak yang bertanggung jawab mesti golong gilig (bersatu padu dan solid) mengenyahkan mereka.
  
Dididik kekerasan
Bila kita simak dalam dunia pakeliran, cukup banyak kisah yang secara simbolis menceritakan aksi begal. Mulai dari mengacaukan ketenteraman masyarakat hingga perampasan kekuasaan.

Salah satu tokoh yang dikenal sebagai begal ulung ialah pemuda Kadipaten Sengkapura bernama Kangsa alias Kangsadewa atau Baswarakangsa. Mayoritas warga Sengkapura yang masih bagian wilayah Kerajaan Mandura ialah preman dan gali. 

Seperti asumsi di atas, bahwa Kangsa menjadi pribadi yang keras dan jahat karena nihilnya pendidikan moral. Itu juga akibat sejak kecil ia menjadi anak lola karena tiadanya orangtua kandung. Ia dididik oleh pamannya sendiri dari garis ayah, Suratimantra. Di sinilah awal ia menjadi anak muda digdaya yang suka bertindak semau-maunya sendiri.

Ayah kandung Kangsa ialah Gorawangsa, penguasa Guwabarong. Ia lahir dari rahim Maerah, buah benih yang ditanamkan Gorawangsa tanpa ikatan pernikahan. Gorawangsa berbuat kurang ajar dengan memalsukan diri menjadi Prabu Basudewa, Raja Mandura, untuk bisa menggauli Maerah.

Bagi Gorawangsa, Maerah adalah wanita yang diidamkan. Namun, niatnya menikahi kandas karena Maerah telanjur lebih dulu dipersunting Basudewa. Ketikdakmampuannya mengelola syahwat birahi yang pada akhirnya mengatarkannya ke alam baka. Ia mati di tangan Haryaprabu Rukma, adik Basudewa yang mengungkap aksi bejatnya. 

Malang nasib Maerah. Basudewa menghukumnya karena dianggap tidak setia. Padahal, yang terjadi Maerah sebagai korban pemerkosaan. Basudewa memerintahkan Haryaprabu menyirnakan Maerah. Namun, Haryaprabu tidak tega, ia kemudian meninggalkan kakak iparnya itu di tengah hutan. Beruntung Maerah ditolong resi Anggawangsa hingga melahirkan anak laki yang diberi nama Kangsa.

Anggawangsa kemudian menyerahkan anak itu kepada Suratimantra, adik Gorawangsa. Di tangan Suratimantra, Kangsa tumbuh dan besar. Kangsa dididik dengan segala ilmu kanuragan. Namun, tidak ada kurikulum budi pekerti dan nilai-nilai luhur. Itu karena Suratimantra sendiri buta hal itu. Sehari-hari Kangsa hanya digeladi kesaktian dan unggul yuda.

Jadilah ia pemuda yang sentosa, tetapi tidak memiliki moral yang dibutuhkan sebagai seorang kesatria. Jadi, Kangsa menjadi anak sakti yang berangasan. Dengan kedigdayaannya, ia suka-suka membuat onar di mana-mana, tapi tidak ada yang berani mengadili.

Sirnanya pedut
Pada suatu ketika, Kangsa meminta kepada pamannya untuk menjelaskan siapa ibu dan ayahnya. Suratimantra menyebut ibunya, Maerah, sudah meninggal dunia, sedangkan ayahnya, di sebut Prabu Basudewa. Malah diberi tahu pula bahwa ia anak sulung raja sehingga berhak menjadi pangeran pati yang artinya menjadi ahli waris takhta Mandura.

Dengan bekal informasi itu, Kangsa menghadap Basudewa. Ia lancang meminta hak-haknya sebagai pangeran. Sesungguhnya, Basudewa telah mengetahui sepak terjang Kangsa selama ini. Dari laporan telik sandi, biang keladi situasi tintrim (mencekam) rakyat Mandura ialah anak tirinya itu.

Sambil mengatur strategi, Basudewa bersedia (sejatinya menolak) mengangkat Kangsa sebagai putra mahkota. Kangsa lalu diberi kekuasaan wilayah perdikan Sengkapura. Namun, seiring berjalannya waktu, Kangsa, tidak puas, kekuasaannya terlalu kecil. Merasa tidak ada senapati Mandura yang mampu menandingi kesaktiannya, ia lantas merancang perampasan kekuasaan Basudewa.

Skenarionya ialah adu jago antara Sengkapura dan Mandura. Siapa yang jagonya kalah harus menyerahkan kekuasaannya. Usulan Kangsa tersebut dengan terpaksa disepakati Basudewa. Jago Sengkapura ialah Suratimantra, sedangkan jago Mandura Bratasena.

Kangsa meminta semua rakyat Mandura harus menonton. Itu strategi agar anak Basudewa yang selama ini disembunyikan di Dusun Widarakandang juga hadir. Mereka ialah Kakrasana, Narayana, dan Rara Ireng. Kakrasana dan Narayana menjadi target pembunuhan Kangsa. Karena bila keduanya masih hidup, akan menjadi pengganjal peluangnya menjadi raja.

Namun, singkat cerita, Kangsa dan Suratimantra gagal menggolkan agenda. Bahkan, keduanya mati konyol. Dengan sirnanya begal Sengkapura tersebut situasi Mandura pulih. Pedut yang selama ini menyelimuti masyarakat Mandura telah lenyap. Rakyat kembali ayem dan tenteram.

Hikmah yang bisa dipetik dari kisah itu ialah anak yang tidak mendapat sentuhan pendidikan moral. Maka, anak jadi mrosal (kurang ajar). Keperkasaan, kesaktian, dan kepintaran yang dimiliki bukan untuk berbuat baik, tetapi malah merusak tatanan. (M-4)

sarwono@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya