Perjuangan Hutan Adat di Hilir Malinau

Syahrul Karim
22/3/2015 00:00
 Perjuangan Hutan Adat di Hilir Malinau
(MI/SYAHRUL KARIM)
POHON-POHON bernilai ekonomi tinggi tumbuh rimbun di hutan di hilir selatan Sungai Malinau, Kalimantan Utara, itu. Pohon ulin tumbuh bersisian dengan jati, bengkirang, meranti merah, dan meranti kuning. Di antara dahan-dahan mereka tidak jarang terlihat bekantan dan orang utan. Sementara itu, burung enggang terkadang terbang rendah.

Keanekaragaman hayati itu bukan lestari begitu saja. Ada jejak masyarakat adat di sana. Merekalah masyarakat Dayak Punan Adiu. Warga yang termasuk dalam 14 ­sebaran subetnik Dayak Punan di Malinau itu telah menetap sejak ratusan tahun lalu.

Selama itu pula mereka hidup dengan merawat sekaligus memanfaatkan hutan adat mereka yang mencapai 17.400 hektare. Seperti yang terlihat pada awal bulan ini, masyarakat Punan Adiu memiliki peraturan pembagian lahan.

Sebanyak 27 kepala keluarga (KK) di desa itu berhak atas masing-masing 2 hektare lahan yang dapat dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Kepala adat menetapkan lokasi lahan itu dan hanya terbatas di pinggiran hutan.

Pengambilan kayu di hutan diizinkan, tetapi hanya untuk pembangunan rumah dan perkampungan. "Tapi tidak semua ­pohon dapat ditebang, tergantung area," tegas Kepala Adat Dayak Punan Adiu, Markus Ilun, kepada Media Indonesia, Selasa (2/3).

Jika kedapatan menebang pohon untuk tujuan komersial atau di area terlarang, sanksi adat akan diberlakukan. Mereka yang bersalah harus menanam pohon pengganti di area pohon yang ditebang. Selain itu, ada denda yang harus dibayar.
Ada pula denda sebesar Rp20 juta untuk pencurian pohon dari lahan warga lain. Namun, hingga hari ini, menurut Markus, belum pernah pelanggaran terjadi.

Meski terdengar terlalu sempurna, ­patuhnya masyarakat adat Dayak ­Punan Adiu mungkin bisa dimengerti dari ­pegangan hidup mereka. Markus mengatakan secara turun-temurun mereka telah diajarkan bahwa hutan itu tempat mereka hidup, tumbuh, hingga mati. Sebab itu, ­kesadaran menjaga hutan sudah seperti napas bagi mereka.

Namun, belakangan ini pegangan hidup menjadi gamang. Bukan karena mereka tidak lagi mencintai hutan, melainkan ada ancaman pengambilan lahan dari luar.

Markus menuturkan sejumlah perusahaan tambang dan sawit datang silih berganti menawar lahan. Beruntung hingga kini belum ada warga yang tergiur oleh gelontoran rupiah itu.

Markus mengaku kondisi kampung ­tetangga telah menjadi pelajaran bagi ­mereka. Bukan saja tidak ingin sungai ­tercemar, warga Desa Punan Adiu tidak senang melihat adat istiadat Dayak yang luntur di kampung-kampung sebelah. 

Pengakuan hutan adat
Untuk memastikan wilayah mereka terlindung dari ancaman pengambilan pihak luar, warga Desa Dayak Punan Adiu kini tengah berjuang untuk mendapatkan pengakuan pemerintah atas hutan adat mereka.

Status hutan adat memang telah diakui berdasarkan putusan Mahkamah ­Konstitusi (MK) No 35/2012. Dalam putus­an itu MK menetapkan hutan adat tidak lagi ­diklasifikasikan sebagai hutan negara, tetapi bagian dari hutan hak.

Dengan putusan MK itu, masyarakat adat merupakan penyandang hak (rights bearer) dan subjek hukum atas wilayah adatnya, termasuk hutannya. Dengan begitu, ­semestinya negara tidak lagi bisa mengklaim penguasaan hutan adat dan ­mengalokasikannya untuk berbagai ­peruntukan, termasuk memberi izin eksplorasi.

Pelepasan hutan adat dari kawasan hutan negara dapat dilakukan apabila Kementerian Kehutanan menyatakan diperlukan persetujuan dari pemerintah daerah. Mengenai hal itu, Direktur Padi Indonesia Ahmad Suudi Jawahar Asyami mengatakan Kabupaten Malinau merupakan satu-satunya kabupaten di Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur yang telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat Malinau.

Padi Indonesia merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki kepedulian dan perhatian terhadap proses pembangunan (pertanian, kehutanan, perikanan, dan perkebunan) yang berdasar pada prinsip–prinsip kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Untuk menguatkan posisi memperjuangkan wilayah mereka, masyarakat adat kini melakukan pemetaan wilayah secara partisipatif. Warga Desa Dayak Punan Punan Adiu melakukan pemetaan itu dengan bantuan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP).

"Pemetaan partisipatif ini dilakukan untuk memastikan batas wilayah adat. Salah satu tujuannya ialah menghindari konflik antarwarga. Apalagi di Kaltim dan Kaltara memiliki SDA yang besar sering terjadi konflik horizontal antarwarga ketika perusahaan menggarap lahan mereka. Warga saling mengklaim. Ini yang terjadi. Pemetaan diperlukan untuk melihat batas-batas wilayah adat. Ini sangat penting," tutur Ahmad.

Sebelum diajukan ke pemkab, hasil pemetaan harus terlebih dulu mendapat pengakuan terlebih dahulu dari desa-desa tetangga. "Peta wilayah sudah jadi. Kami tinggal meminta persetujuan kepada desa tetangga," jelas Kepala Desa Punan Adiu Piang Irang sembari berharap tidak ada keberatan dari para desa tetangga.     

Selain Desa Punan Adiu, ada dua desa lagi yang mengajukan pengakuan wilayah hutan adat, yakni Setarap dan Gong Solok. Di luar Kabupaten Malinau, ada 14 desa di Kecamatan Kayan Hulu, Mahakam Hulu, Kaltim, yang melakukan hal yang sama. Kemenangan masyarakat adat atas hutan mereka sesungguhnya juga kemenangan masa depan sumber daya alam. (M-3)

miweekend@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya