Barang siapa tiada memegang agama Sekali-sekali tiada boleh dibilangkan nama
Barang siapa mengenal yang empat Maka yaitulah orang-orang yang makrifat
Barang siapa mengenal Allah Suruh dan tegahnya tiada ia menyalah
Barang siapa mengenal diri Maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari
Barang siapa yang mengenal dunia Tahulah ia barang yang teperdaya LIMA baris isi dari Gurindam Dua Belas, pasal pertama tersebut merupakan pembuka bagi karya Raja Ali Haji. Karya penyair tersohor yang dilahirkan di Pulau Penyengat pada 1808 tersebut menjadi awal dari banyak karya sastra Melayu yang nantinya berkembang menjadi bahasa Indonesia.
Ketika membicarakan bahasa Indonesia, mau tidak mau kita juga harus membicarakan bahasa Melayu sebagai sumber bahasa Indonesia yang dipergunakan saat ini.
Menurut Abdul Malik, Dekan FKIP, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, banyak karya sastra yang berasal dari Kepulauan Riau, khususnya Pulau Penyengat, yang memberikan andil besar bagi pembangunan bahasa Indonesia. Namun, ia menyayangkan banyak masyarakat di Indonesia kini tidak mengenal sumber yang benar dari bahasa yang mereka gunakan sehari-hari.
Secara terpisah, kendati bahasa Melayu berjasa besar bagi pembangunan bahasa Indonesia, ahli sejarah bahasa Prof Dr Mahsun, MS, menegaskan bahwa bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu. "Pada saat Sumpah Pemuda 1928 lalu, bahasa Melayu secara politik melahirkan bahasa Indonesia," tandasnya.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa itu tidak menampik bahwa pada mulanya memang bahasa daerah itu yang digunakan sebagai bahasa persatuan dan disebut sebagai bahasa Indonesia. Namun, ibarat ibu yang melahirkan anak, dalam perkembangannya anak itu pun lain dari ibunya. (Her/HK/M-5)