SEMANGAT pembebasan telah Gus Dur dapatkan sejak kecil. Ayahnya, Abdul Wahid Hasyim, menjadi motor inspirasinya. Gus Dur kecil mendapati semangat juang dari figur terdekat di sekitarnya. Ia belajar banyak hal dari ayahnya.
Makna di balik nama Abdurrahman Ad-dakhil memang berat ia pikul. Ada asma yang disematkan padanya begitu lahir di muka bumi. Seorang 'penakluk' yang kelak menjadi orang terpandang dan tersohor di negeri ini.
Banyak buku memang yang sudah mengupas tentang tokoh Gus Dur, Presiden ke-4 RI. Sosok yang juga kita kenal sebagai pejuang multikulturalisme, guru bangsa, dan sosok misterius yang tak pernah habis kita bicarakan.
Sosok Gus Dur pun banyak bertebaran melalui biografi hingga karya literasi lain. Mayoritas karya sebelumnya hanya menyajikan tema seputar Gus Dur. Namun, belum banyak novelis yang mengupas tokoh ini dalam bingkai novel sejarah.
Memang, sastra punya cara khas untuk berkomunikasi. Ada aroma mendebarkan kala dihadirkan lewat beragam peristiwa. Sastra sejatinya mampu menghadirkan warna lain dalam memahami hal-hal kehidupan.
Bahkan, untuk mengulas dan mengemas ulang kehidupan tokoh, sastra pun mampu memenuhi takdirnya. Takdir untuk menjadi `jalan lain` dalam bertutur dan bercakap. Semangat untuk membaca sejarah lewat fiksi.
Seperti itulah yang bisa kita rasakan lewat novel Mata Penakluk: Manakib Abdurrahman Wahid (Expose, Januari 2015) karya Abdullah Wong. Dalam novel sejarah ini sosok Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi tema utama. Wong menyajikannya dalam bentuk monolog imajiner.
Saat membaca novel ini pembaca seolah-olah merasakan bersentuhan langsung dengan Gus Dur. Sebuah pergelutan batin dan imajiner yang lihai. Wong mampu menghadirkan itu kepada pembaca lewat karya novel teranyar tersebut.
Novel setebal 298 halaman ini memiliki pengikat. Pembaca akan mendapati perasaan 'bertemu kembali' dengan sang guru bangsa. Novel ini pula bisa membawa pembaca untuk memahami Gus Dur sebagai manusia utuh.
Imajinasi pembaca akan masuk ke ruang paling pribadi Gus Dur. Wong mampu melakukan pergulatan batin. Situasi psikologis sang tokoh ditampilkan secara gamblang. Terutama saat detik-detik terakhir Gus Dur menghadapi masalah pelik, misalnya saat meninggalkan istana.
Gus Dur memang telanjur terkenal dengan cara berpikir yang liar. Tokoh satu ini kerap, bahkan selalu, melontarkan hal tak terduga. Ia menyampaikan gagasan dengan lompat-lompat, tidak kronologis dan tidak sistematis.
Namun, dalam novel Mata Penakluk, kita akan menyangkal semua stigma tersebut. Wong berusaha mengambarkan pandangan Gus Dur melihat realitas. Ada gambaran proses intelektual Gus Dur, terutama landasan pemikiran dan gagasan sebelum tercetus dalam omongan. Di sini, kita akan menemukan gagasan tak terduga Gus Dur adalah sesuatu yang sangat runtut dan sistematis.
Maju mundur Pembaca bisa menentukan berbagai kesimpulan. Ternyata, Gus Dur juga manusia biasa. Ia punya ketakutan dan keraguan. Bahkan dalam bagian awal novel ini diungkapkan bagaimana situasi batin Gus Dur saat mengetahui namanya diambil dari tokoh Islam besar penakluk Andalusia, Spanyol.
'Hingga kini aku bertanya dalam hati. Jika Thariq bin Ziyad menaklukkan Andalusia, menaklukkan ketakutan dirinya dan pasukannya, lalu bagaimana dengan diriku? Apa yang harus aku taklukkan? Aku bukan Ken Arok yang mampu menaklukkan Tunggul Ametung. Aku juga bukan Raden Wijaya yang menaklukkan Jayakatwang. Aku juga bukan Gadjah Mada yang menaklukkan Nusantara dengan Sumpah Palapa-nya. Aku hanya seorang Abdurrahman. Lalu apa yang harus aku taklukkan?' (hlm 11).
Penulis tidak menampilkan cerita dengan alur maju berdasarkan kronologi. Alur yang dipakai cenderung maju-mundur. Alur cerita ini membuat kisah demi kisah tidak mudah tertebak. Ada suspensi sehingga pembaca tidak mudah lelah dan jenuh.
Sebelumnya, pengarang Damien Dematra, misalnya, pernah menghadirkan Sejuta Doa untuk Gus Dur. Entah itu sejarah hidup, keluarga, karier politik, pemikiran, karier, maupun kelakar-kelakarnya. Suka tidak suka, buku Damien pun sudah beredar di pasaran.
Mata Penakluk memakai sudut pandang orang pertama 'aku'. Ini membuat pembaca seakan-akan mendapati hubungan yang sangat cair dengan tokoh utama. Pembaca bisa larut dalam tutur sang tokoh utama.
Diagframatik, baik relasional maupun struktural, masih biasa Wong hadirkan. Ini tidak menghasilkan letupan kuat dalam novel tersebut. Pengacakan dalam setiap peristiwa membuat pembaca seakan diajak ikut berpindah-pindah dari satu latar peristiwa ke latar lain.
Ini bisa saja membosankan dan membuat ngantuk. Lompatan pengarang tidak hanya pada hal ruang, tapi juga waktu dan pemikiran. Meski demikian, novel ini layak bagi dosen, sastrawan, politikus, dan budayawan yang mengharapkan sensasi membaca biografi tokoh ala sastra. (Abdillah M Marzuqi/Iwan J Kurniawan/M-2)