Joglo Kaca di Ketinggian Dago

Bintang Krisanti
08/3/2015 00:00
Joglo Kaca di Ketinggian Dago
()
JAJARAN mobil berpelat Jakarta ialah pemandangan umum saban akhir pekan di Lawangwangi Creative Space, Bandung, Jawa Barat. Galeri sekaligus kafe yang berada di Jalan Dago Giri, Dago Pakar, tersebut memang tujuan wisata yang sedang hip di kalangan anak muda. Jembatan kayunya yang menjorok ke jurang jadi spot foto yang cukup terkenal di Instagram.

Namun, di samping jembatan, patung-patung di pelataran dan suasana kafenya yang nyaman nan modern ada di sudut lain yang tidak kalah unik. Itulah rumah sang pemilik Lawangwangi, suami-istri Brenny van Groesen dan Andonowati.

Kediaman mereka hanya berjarak sekitar 100 meter dari kafe. Meski letaknya 'tersembunyi' oleh rimbun taman di dekat amphiteater, keunikan kediaman itu sudah bisa terasa dari atapnya yang berbentuk joglo (limas bertingkat).

Di antara rintik hujan, Sabtu (28/2), Media Indonesia dijamu melihat-lihat rumah tersebut. Meski bentuk luarnya khas rumah tradisional Jawa Tengah, dalam rumahnya bergaya modern.

Begitu pintu utama terbuka, hampir seluruh bagian rumah plong terlihat. Tidak jauh dari depan pintu ada bundar dengan empat kursi yang semuanya berwarna putih. Di sisi kiri pintu ada dua buah meja kerja berwarna hitam lengkap dengan kursi bersandaran tinggi. Sementara itu, di area kanan dari pintu masuk adalah ruang dapur yang minimalis.

Berseberangan dari area kerja terdapat meja dan kursi kayu bergaya tempo dulu. Televisi dan tempat tidur bersisian di sebelahnya tanpa dinding pemisah.

Pandangan dari pintu masuk ke tempat tidur yang tepat berseberangan itu pun hanya sedikit dihalangi oleh pajangan kayu berlekuk yang dari jauh seperti cangkang kerang raksasa. Inilah seluruh isi ruang utama dari rumah berukuran 96 meter persegi itu. Bagian kecil yang agak terpisah dan dibatasi dinding bata adalah kamar mandi dan perpustakaan.

"Jadi modelnya kalau di luar negeri ini dinamakan loft. Pada dasarnya satu ruangan yang kemudian dibagi sesuai dengan fungsinya. Misal tempat kerja, terus tempat untuk menerima tamu. Jadi memang karena kita cuma dua orang di sini, jadi kita pengin tidak ada batas tetapi setiap corner ada fungsinya," jelas Andonowati sembari kami menikmati kopi bersama buatan sang suami.

Sesuai dengan artinya, konsep tempat tinggal loft (loteng) terinspirasi oleh pemanfaatan ruangan loteng yang terbuka. Namun, seiring zaman, konsep loft diterapkan ke berbagai rumah, bahkan rumah yang cukup luas.

Meski serbaplong, bukan berarti rumah Andonowati tidak ada pembagian antara ruang privat dengan yang lebih umum. Area untuk fungsi yang lebih publik tersebut terdapat di sepanjang sisi barat daya bagian rumah itu.

Di area yang Andono sebut sebagai ruang mingle itu terdapat meja kerja besar, sepeda statis, dan beberapa kursi serta meja kayu khas Jawa. Andono mengatakan di situlah ia kerap mengadakan rapat kecil. Ruang mingle dengan ruang dalam rumah ini dibatasi dengan jendela kaca serta pintu dengan bukaan lebar. Ruang seluas sekitar 24 meter persegi itu juga dapat diakses langsung dari luar, yakni lewat pintu kaca yang terdapat di selatan pintu utama.

Jika tidak ada pekerjaan pun dosen matematika Institut Teknologi Bandung (ITB) yang sekaligus konseptor destinasi wisata ini betah berlama-lama di ruang mingle. Duduk membaca buku berteman perbukitan Dago menjadi favoritnya.

Memang di depan ruang mingle itu pemandangan Dago terhampar tanpa pandangan karena dinding luar yang seluruhnya kaca. Di bagian paling luar masih ada lagi balkon yang asyik untuk menikmati udara segar.

Untuk mendapatkan rumah dengan pemandangan luar biasa itu Andonowati berburu hingga 1 tahun. Selama itu ia menelusuri Dago Pakar dengan naik motor. Usaha tidak sia-sia terlebih Andonowati mengaku kala itu tanah seluas 2.500 meter persegi tersebut dijual dengan harga cukup murah.

Diangkut dari Surakarta
Selain konsep yang terbuka, kediaman Andonowati makin unik dengan paduan material kayu dan kaca. Unsur kayu yang hadir lewat empat tiang soko guru yang menjadi penyangga utama atap limasan serta tulangan atap memberi nuansa hangat pada rumah itu.

Andonowati mengungkapkan bahwa kayu-kayu itu sudah berusia sekitar 100 tahun. Rumah tersebut asalnya berada di Surakarta yang kemudian ia beli dan diangkut ke Bandung.

"Kalau beli rumah (joglo) di Surakarta mending beli di desa-desa, mereka mulai mengubah tradisi ingin rumah bata. (Rumah joglo) mereka jual. Menurut saya, kualitasnya masih bagus, kemudian kita hanya perlu serut dan modifikasi sedemikian rupa sehingga ada unsur modernnya," tutur perempuan asal Magelang, Jawa Tengah, itu.

Andono mengaku meski bidang akademiknya di eksakta, ia memiliki ketertarikan tinggi pada seni dan budaya. Maka seperti di galeri dan kafenya, pada rumah joglo itu pun bertebaran karya seni.

Salah satunya ialah peti berukuran panjang sekitar 14 cm yang ia dapat saat berkunjung ke Malang, Jawa Timur. Di dalam peti itu terdapat patung miniatur Ganesha yang ia dengar semula digunakan untuk upacara adat. "(Saya) kalau beli baju sayang, tapi kalau beli karya seni atau desain enggak pernah sayang," tukas perempuan berusia 52 tahun itu.

Ada pula karya seni yang ia pesan khusus, seperti pajangan kayu berlekuk di depan tempat tidur. Andonowati mengaku karya seni itu ia pesan kepada seniman asal Surakarta, Barata Sena. Terdapat pula karya-karya seni ciptaan mahasiswa seni ITB.

Kini dengan bisnis di bidang galeri seni, koneksinya dengan para seniman pun makin luas. Tidak sedikit seniman yang menawarkan sendiri karya mereka.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya