PADA lantai berwarna cokelat muda itu terdapat tabel yang digambar dengan coretan kapur. Hanya ada lima kotak paling kiri yang berisi huruf-huruf singkatan, sedangkan 15 kotak lainnya berisi angka. Pada kolom total tercantum angka 156.
Tabel itu merupakan 'menu' latihan Kim, seorang anggota Crossfit Equator. Angka 156 merupakan jumlah gerakan yang berhasil ia kerjakan dalam waktu 15 menit.
Setiap satu set gerakan di olahraga itu memang hanya dilakukan dalam waktu 1 menit. Sementara itu, satu menu latihan inti berlangsung selama 15 menit. Namun, gerakannya sama sekali tidak ringan.
Gerakan yang dilakukan Kim kali itu terdiri dari burpee yang merupakan rangkaian gerakan berdiri, jongkok (squat), badan sejajar tanah dengan tangan menopang ke bawah (plank), kembali squat lalu berdiri. Itu dilanjutkan power snatch, yakni gerakan angkat besi yang dilakukan dengan membungkuk dan mengangkat beban hingga atas kepala.
Kemudian Kim juga melakukan box jump, yakni melompat ke atas kotak serta melakukan thruster, yakni gerakan mengangkat besi dengan posisi awal beban di dada dan diangkat hingga atas kepala. Terakhir Kim melakukan chest to bar/pull up, yakni mengangkat badan di palang melintang.
Berdasarkan keterangan di tabel, pencapaian tertinggi Kim hari itu ialah melakukan 16 box jump dalam waktu 1 menit. Sementara itu, yang terendah adalah empat power snatch dalam waktu 1 menit.
Meski terkesan berat, crossfit ialah salah satu olahraga yang sedang hip di Jakarta. Selain Crossfit Equator yang berlokasi di Kemang tersebut, setidaknya ada empat tempat kebugaran yang juga menawarkan metode crossfit di Ibu Kota.
Crossfit merupakan perusahaan yang didirikan Greg Glassman dan Lauren Jenai pada 2000 di Santa Cruz, Amerika Serikat. Crossfit memadukan berbagai elemen, mulai latihan dengan intensitas tinggi, angkat berat, senam, hingga angkat berat dengan besi mirip lonceng ternak (girevoy sport/kettlebell lifting). Di negara asalnya, olahraga itu bahkan diadopsi di akademi kepolisian, tim taktis, dan atlet profesional.
Oka, pelatih di Crossfit Equator, menilai metode olahraga itu memang beda dari latihan di gym biasa. "Biasanya kalau orang pergi ke gym, badannya terbentuk tapi kalau disuruh lari, mereka kurang kuat. Padahal, itu gerakan fungsional yang dibutuhkan untuk kegiatan sehari-hari," tukasnya kepada Media Indonesia, Rabu (4/3).
Seperti terlihat malam itu, para anggota Crossfit Equator tidak hanya berlatih pembentukan tubuh, tetapi juga ketahanan kardiovaskular. Para peserta pusat kebugaran itu, atau yang mereka sebut atlet, datang dari berbagai kalangan. Masing-masing memiliki 'menu' latihan sendiri.
Gerakan fungsional Berbeda dengan pusat kebugaran lain, Crossfit Equator tidak menggunakan mesin apa pun. Perlengkapan yang disediakan di antaranya palang bertingkat, tali lompat, hingga barbel. Idenya, semua gerakan yang dipelajari di Crossfit Equator bisa dipraktikkan di luar gym.
"Dengan penggunaan berbagai teknologi semisal kursi dan WC duduk, ada kecenderungan kekuatan dan fleksibilitas kita menurun, makanya perlu melatih gerakan-gerakan fungsional," jelas Oka.
Berkala di bawah pengawasan pelatih, Yudha yang baru bergabung misalnya, mengganti gerakan power snatch dengan mengangkat kettlebell.
Karena tiap gerakan hanya diberi waktu 1 menit, intensitas latihanlah yang menjadi kunci kesuksesan latihan mereka. Beratnya latihan ala crossfit dirasakan betul oleh Yudha.
Di hari pertama latihan, dia hanya mampu menyelesaikan dua dari tiga set yang diharuskan. "Mata saya kunang-kunang, katanya yang pertama kali coba memang suka begini," aku mahasiswa kedokteran itu.
Berbeda dengan Claudia yang telah keranjingan crossfit. Desainer perhiasan dan 'gemologist' itu bergabung sejak delapan bulan lalu.
Perempuan berusia 30 tahun itu merasa produktivitas kerjanya membaik. Meski latihan pagi, dia tidak lantas kelelahan dan jadi mengantuk atau malas bekerja.
Berharap menjadi lebih kuat, lebih sehat, lebih lentur dan lainnya, dia sempat mencoba banyak jenis olahraga lain, mulai muay thai, gym, yoga, hingga lari sudah pernah dicobanya.
Namun, akhirnya Claudia jatuh cinta pada crossfit karena menggabungkan banyak unsur olahraga lain dan cukup menantang. "Sekarang tidak cepat capek atau sakit, lebih fit, ngapai-ngapain enak," aku perempuan yang bobotnya turun dari 60 kg ke 51 kg itu.
Crossfit diklaim sebagai olahraga yang menghasilkan pembakaran lemak bahkan setelah latihan selesai. "Bahkan saat badan sedang membangun otot, masih pemulihan, regenerasi sel, berusaha lebih kuat, badan masih membakar lemak," cetus Oka.
Di sisi lain, Oka menepis anggapan bahwa angkat beban bisa membuat perempuan berotot besar, kondisi yang sering dianggap tidak indah untuk perempuan. Ia menekankan bila ingin menurunkan berat badan, perempuan memang mesti meningkatkan massa ototnya.
"Dalam tubuh perempuan umumnya hanya ada 5% hormon testosteron, jadi dalam jangka waktu latihan yang sama dengan laki-laki, tidak akan terbentuk besar otot yang sama," kata dia.
Selain itu, dengan rutin melatih gerakan-gerakan fungsional di crossfit, diyakini nantinya tidak ada alasan bagi orang-orang lanjut usia untuk tidak bisa menikmati hidup dengan jalan-jalan, gendong cucu, bahkan naik gunung.