Trabas Temanggung

Tosiani
11/6/2017 03:01
Trabas Temanggung
(MI/Tosiani)

HARI masih pagi ketika delapan pria bersiap dengan helm, sepatu bot, dan pelindung tubuh. Menaiki motor trail masing-masing, mereka kemudian beriringan meninggalkan Desa Lungge, Kecamatan Temanggung, menuju lereng Gunung Sumowono, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Sebelum mencapai lereng gunung itu, mereka juga melewati perkebunan karet. Rute yang ditempuh mencapai sekitar 50 kilometer dengan medan yang beragam. Adakalanya mereka melewati jalan setapak di antara pohon karet yang berjajar cantik. Namun, kemudian mereka harus menghadapi jalan terjal berbatu atau harus luwes meniti jembatan bambu kecil.

Inilah kegiatan yang di bahasa setempat disebut trabas. Kegiatan ini sudah sekitar dua tahun rutin dilakoni kedelapan pria yang tergabung dalam komunitas Mitra Off Road and Trail (Morta) ini.

Seolah sejurus dengan sebutan trabas pula, kedelapan pria tadi tampak benar menikmati adrenalin yang terpacu. Bahkan berbagai rintang­an tiba-tiba muncul karena kondisi alam, seolah menambah keseruan dan kekompakan mereka.

Saat menyusur hutan di daerah Klepu, Kecamatan Pringsurat, misalnya, rombongan tiba-tiba terhenti lantaran ada pohon tumbang melintang di jalur tersebut. Tidak berlama-lama, mereka segera bersama-sama mengangkat batang pohon besar tersebut.

“Dalam kegiatan trabas ini, intinya adalah kebersamaan dan kekompakan sehingga dapat mengatasi rintangan dan kesulitan bersama,” ujar Wahyu Wim Hardjanto, seorang perwira polisi berpangkat AKB dari Polda Jateng yang didaulat menjadi ketua komunitas itu, kepada Media Indonesia, Sabtu (27/5).

Bagi yang lainnya, kegiatan trabas itu juga menjadi cara untuk melepas penat. Terlebih dengan pesona alam yang mengiringi perjalanan mereka.

“Selama trabas jadi lupa semua masalah pekerjaan dan beban hidup. Yang ada hanya menikmati alam dan belajar bertahan di track yang tidak pasti,” tutur Margo yang berprofesi sebagai pengusaha.

Dengan berbagai keseruan itu, pengalaman tidak enak pun tidak membuat mereka kapok bertualang. Salah satu pengalaman tidak enak yang pernah dialami Margo ialah tersengat segerombolan laba-laba. “Hampir sepekan bengkaknya tidak hilang, tapi tidak apa-apa sih,” tambah Margo.

Pria yang merupakan penduduk asli Kecamat­an Kaloran, Temanggung, itu mengaku menggemari trabas sejak usianya masih belasan tahun. Jalur yang amat digemarinya ialah jalur Walitis di Kecamatan Selopampang melintasi Gunung Sumbing. Selain itu, ia sudah sering melibas jalur jalur Kandangan ke Pinusan menuju Watulayah, Watuangkrik, kemudian Jalur Parakan dan Bejen.

“Dari semua trabas, yang paling berkesan ialah saat kita terjatuh, teman-teman akan menertawakan kita dulu, baru ditolong. Kekeluargaannya sangat kuat walau kita berasal dari latar belakang dan kultur yang berbeda,” tambahnya.

Meski melintasi berbagai rute dan hobi menjajal rute baru, ada jalur yang menjadi favorit sekaligus disegani para penerabas ini. Jalur itu dikenal sebagai Jalur Keramik.

Penamaan keramik tampaknya sesuai dengan kontur jalur yang kinclong serupa tanah lincat dan licin. Begitu licinnya kontur jalur itu sehingga sangat sulit, bahkan hampir tidak bisa dilalui meski ban motor trail telah diganti dengan beragam merek.

“Kalau jalur, semuanya hampir sama sulit, kecuali jalur keramik memang benar-benar sulit ditaklukkan,” ujar Budi, salah seorang penerabas.
Dengan begitu, untuk melalui jalur itu, motor harus ditarik. Dari situ pula bisa dikatakan jalur tersebut bukan hanya menuntut skill berkendara, melainkan juga kekompakan.

Kampanye guyub rukun

Tidak melulu berkendara, kegiatan trabas kelompok tersebut juga diiring dengan menjalin keakraban dengan penduduk lokal. Wahyu dan rekan-rekannya sengaja berkunjung ke rumah penduduk sambil menyampaikan pesan terkait dengan isu-isu yang sedang berkembang di masyarakat.

Saat isu intoleransi terkait dengan suku, agama, dan ras mencuat akhir-akhir ini, misalnya, Wahyu kerap mengajak warga agar tidak terpancing. Sebaliknya, warga diajak tetap menjunjung karakter guyub rukun yang memang sudah menjadi budaya di daerah tersebut.

“Saya prihatin dengan berbagai fenomena sekarang ini yang menjurus pada perpecahan. Bisa dilihat dari perang opini yang terjadi melalui media sosial. Saya selalu menggaungkan slogan guyub rukun. Kalau guyub dan rukun pasti damai dan aman,” ujar Wahyu.

Kegiatan trabas juga dimanfaatkan Wahyu untuk memantau situasi hutan di gunung-gunung. Hal itu berangkat dari pengalamannya sewaktu menjabat Kapolres Temanggung pada 2015.

Kala itu ia mendapati pelatihan semimiliter yang mencurigakan di hutan Gunung Sum­bing. Karena itu, hingga saat ini sudah menjadi kebiasaannya memantau kondisi keamanan di wilayah gunung yang medannya terjal sehingga hanya dapat dicapai dan dilewati menggunakan motor trail.

Tak hanya di Temanggung, kegiatan trabas juga dilakukannya di wilayah-wilayah pegunungan lainnya di Jawa Tengah. Tujuannya sama, menjalin kerukunan dan memantau kondisi keamanan di daerah Jawa Tengah. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya