Indonesia Menyambut Era Digital

Hera Khaerani
22/10/2016 04:30
Indonesia Menyambut Era Digital
(Ilustrasi)

TAHUKAH Anda suhu sangat memengaruhi perilaku ayam?

Ketika suhu dingin, ayam akan berkelompok.

Sebaliknya, saat kepanasan, ayam akan berkeliling sendirian.

Pengaruh suhu itu berdampak pada peluang terjangkit penyakit.

Karena itu, penting bagi peternak memperhatikan temperatur di kandang.

Tentu saja merepotkan bila peternak harus memeriksa kandang setiap waktu untuk melihat gejala apakah ayamnya kepanasan atau kedinginan.

Beruntung, teknologi memungkinkan sensor dipasang di kandang ayam untuk menyesuaikan temperatur yang paling pas untuk unggas tersebut.

Itu contoh pemanfaatan teknologi Microsoft untuk kehidupan sehari-hari.

Bagi CEO of Microsoft Indonesia Andreas Diantoro yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi Indonesia in a Digital World yang digelar McKinsey and Company di Jakarta, Selasa (27/9), digitalisasi mempunyai kekuatan yang besar sekali dan selayaknya dimanfaatkan.

Hal senada disampaikan Executive Director of Lippo Group John Riady.

"Digitalisasi memberikan terobosan, dengannya kita bisa meraih apa yang dulu tidak bisa diraih," cetusnya.

Matahari Department Store, contoh John, sulit melakukan ekspansi karena keterbatasan jumlah mal dengan luas memadai dan sewa sepadan.

Namun, ketika mereka mendirikan Mataharimall.com, keterbatasan itu bisa diatasi.

"Perusahaan akhirnya berinvestasi di startup digital sembari menumbuhkan sektor itu, sembari belajar untuk mengembangkan perusahaaan sendiri," ungkapnya.

Tidak bisa dimungkiri, teknologi digital mengubah cara kita hidup dan bekerja.

Saat ini lebih dari setengah masyarakat dunia mengakses internet lewat perangkat mobile, sebanyak 51% pekerjaan diproses dengan memanfaatkan cloud, tak kurang dari 10 miliar perangkat terkoneksi internet of things (IoT), dan ada satu zettabyte lalu lintas internet di sepanjang 2016.


Tahap awal

Indonesia pun ikut dalam kemeriahan revolusi digital yang sedang berlangsung itu.

Meski begitu, menurut penelitian yang dilakukan McKinsey & Company, Indonesia masih di tahap awal sekali dalam hal digitalisasi.

Khoon Tee Tan dari McKinsey & Company menjelaskan mereka mengukur tingkat digitalisasi 20 negara di berbagai benua.

Penelitian itu didasari potret ICT di tiap negara dan penggunaannya.

"Dari 20 negara, internet di Indonesia urutan kedua termurah, tapi bandwith dan kecepatan justru ketiga terendah," sebutnya.

Jangankan dengan Singapura yang internet bandwith mereka 100 kali lebih besar daripada Indonesia, dengan Thailand pun negara ini masih tertinggal nyaris 10 kali lipat.

Bagi Khoon Tee Tan, hal itu selayaknya dipandang sebagai peluang untuk berkembangnya bisnis dan pembangunan infrastruktur ICT di Indonesia.

Baru 30%-40% orang Indonesia mendapatkan akses internet.

Di lain pihak, mereka yang sudah terkoneksi sangat aktif, menghabiskan waktu rata-rata 3,5 jam dalam sehari untuk menggunakan ponsel pintar.

Ini dua kali lebih lama ketimbang orang Amerika Serikat.

Ada tiga tren besar yang menurutnya hadir dalam era digital Indonesia.

Tren itu ialah banyak peluang pembangunan infrastruktur ICT besar-besaran, konsumen digital yang kecil terus bertumbuh, dan hadir banyak startup meski kurang adopsi model bisnis yang baik.

Andai sektor-sektor kunci di Indonesia melakukan digitalisasi, McKinsey & Company memprediksi total dampak produktivitasnya mencapai US$120 miliar atau setara Rp1,622 triliun.

Termasuk yang paling besar bisa mendapat manfaat digitalisasi ialah sektor manufaktur.

Berbagi pengalamannya sebagai CEO of Alfacart.com, Catherine Sutjahyo menekankan pentingnya membuat digitalisasi yang sesuai dengan selera dan gaya Indonesia. Di perusahaannya, mereka mengolaborasikan belanja daring dengan offline.

Itu disebabkan kecenderungan pelanggan Indonesia yang masih kurang percaya dengan sistem belanja online.

"Mereka tahu jika ada sesuatu yang salah, mereka tetap bisa mendatangi toko yang mesti bertanggung jawab," ujarnya santai sambil tertawa.

Hal itu juga disadarinya dari telepon pelanggan yang sering masuk, hanya demi menanyakan ihwal pemesanan yang baru mereka lakukan.

Padahal, sistem digital tentu sudah mencatatnya.

"Pada akhirnya penyesuaian tetap mesti dilakukan," usulnya. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya