Teknologi untuk Pemburu Badai

Hanif Gusman
15/10/2016 07:43
Teknologi untuk Pemburu Badai
(Sumber: AFP/Hurricane Hunters/US Air Force/NOAA/Loockheed Martin/L-1/Foto: Jamie Ward Photo/Weather Channel/Grafis: Cakcono)

HURRICANE Hunters merupakan skuadron khusus Angkatan Udara Amerika Serikat (AS) yang bertugas mendeteksi pergerakan badai.

Dari pengamatan itu, dapat dihasilkan data perkirakan kecepatan angin dan kemungkinan tingkat kerusakan yang ditimbulkan.

Baru-baru ini badai Matthew yang melintasi AS juga mendapat perhatian dari Badan Topan Nasional (National Hurricane Center) yang membawahi National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).

Lembaga itu selalu memantau perkembangan cuaca melalui berbagai peralatan, seperti pesawat pemburu badai, drone militer, balon cuaca, dan satelit.

Banyak orang berpendapat badai merupakan bencana yang tidak dapat dielakkan.

Namun, dengan semakin canggihnya teknologi, badai kini dapat diperkirakan.

AS merupakan salah satu negara yang sudah menerapkan teknologi tersebut.

Sejak 1965, Badan Topan Nasional melakukan pengambilan data di lapangan dan melakukan pengolahan data di kantor pusat yang berbasis di Florida.

Produknya ialah prakiraan cuaca dan pemantauan badai untuk tujuh hari ke depan di berbagai daerah di benua Amerika serta berfungsi sebagai peringatan dini.

Dalam pemantauan dan peramalan cuaca, Badan Topan Nasional dibantu skuadron khusus dari angkatan udara AS yang dijuluki Hurricane Hunters.

Mereka menggunakan pesawat Lockheed WC-130 yang merupakan modifikasi dari C-130 Hercules dengan penambahan peralatan khusus cuaca, termasuk penerima dan pengirim dropsonde, sebuah perangkat pengintai cuaca buatan National Center for Atmospheric Research (NCAR).

Ketika bertugas, satu unit WC-130 membawa minimal lima awak yang terdiri atas pilot, kopilot, petugas sistem pertahanan, dan petugas pengintai cuaca. Skuadron khusus tersebut mempekerjakan 20 awak pesawat dan setengahnya berstatus tidak tetap.

WC-130 biasa menembus badai di ketinggian 3.000 meter saat mengumpulkan data meteorologi di sekitar pusaran badai.

Pesawat akan terbang pada radius 160 kilometer dari pusaran.

Jika cuaca cerah, pengamatan bisa dilakukan secara visual atau menggunakan alat monitor khusus, stepped frequency microwave radiometer (SFMR), yang dipasang di bawah sayap sebelah kanan.

Semua data itu dianalisis dan dilaporkan ke pusat kontrol di darat yang dinamai ARWO (Air Reconnaissance Weather Squadron).

Personel pusat kontrol ARWO terdiri atas para ahli pengamat badai yang sudah sangat berpengalaman.

Dalam perkembangannya Angkatan udara AS telah mengoperasikan sekitar 50 armada WC-130 dan hanya sekali mengalami kegagalan misi, yaitu pada 12 Oktober 1974.

Ketidakpastian intensitas

Meskipun ARWO sudah beroperasi lebih dari 50 tahun dengan berbagai peningkatan dan pengembangan, bukan berarti misi tersebut terlaksana secara sempurna.

Jalur badai yang akan terjadi memang bisa diperkirakan, tapi para ahli masih belum sepenuhnya mampu memprediksi intensitas badai tersebut.

Contohnya, sering kali badai yang awalnya diprediksi berskala rendah tiba-tiba mengalami peningkatan intensitas sehingga menjadi topan berskala tinggi dalam waktu singkat serta memorak-porandakan sebuah wilayah.

Para ilmuwan NASA pun mengamini hal tersebut.

Salah satu ilmuwan NASA Goddard Space Flight Center, Owen Kelley, menyatakan, meskipun dengan ilmu sains sempurna dan persamaan yang tepat, tetap saja ada elemen yang membuat semua perkiraan tersebut menjadi tidak pasti.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan teknologi yang ada saat ini belum mampu mengukur keadaan atmosfer, temperatur, dan angin secara sempurna.

Sumber: AFP/Hurricane Hunters/Lockheed Martin/L-1



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya