Cash Back Berbekal Gawai

Hera Khaerani
21/5/2016 00:00
Cash Back Berbekal Gawai
()

DOMPET Sari Rahmawati, 27, selalu tampak mengembung jelang akhir bulan.

Itu bukan karena uang, melainkan banyak setruk belanja yang tersimpan. Ibu satu anak itu menyimpan setruk untuk catatan keuangan sehingga pemasukan dan pengeluaran proporsional.

"Kalau sudah beres dicatat, biasanya ya langsung dibuang," jelasnya.

Banyak orang merasa setruk tiga berguna dan langsung dibuang setelah tidak ada kekeliruan pembayaran.

Berbeda dengan Reynazran Royono dan kawan-kawannya.

Di tangan mereka, angka-angka dan daftar belanjaan di setruk bisa memiliki nilai jual.

Mereka mengolahnya sebagai big data lantas ditawarkan kepada perusahaan-perusahaan yang memerlukan data untuk pengambilan keputusan, semisal promosi.

Sejak Juni 2015, mereka meluncurkan Snapcart, aplikasi yang memberikan cash back kepada pembeli di toko offline apabila mau memasukkan foto setruk belanjanya.

Di Google App Store, aplikasi ini sempat masuk di 20 teratas kategori belanja.

Pada 14 April 2016, mereka menyabet salah satu penghargaan di ajang kompetisi inovasi taraf dunia, Accenture Consumer Innovations Awards (ACIA) 2016, di London, Inggris.

Tak berhenti di situ, Snapcart kini memiliki kantor cabang di Filipina, melayani pengelolaan big data yang sama.

Ini prestasi yang membanggakan karena aplikasi tersebut digawangi anak-anak Indonesia yang terbukti mumpuni di bidang industri digital.

Pantaslah Snapcart bisa mendapatkan 'seed funding' dari Ardent Capital.

Kepada Media Indonesia, Rabu (18/5), Reynazran Royono selaku pendiri dan CEO of Snapcart berharap perusahaannya bisa berekspansi ke lebih banyak negara.

"Saat ini tidak ada perusahaan serupa di region kita," sebutnya percaya diri tanpa kompetitor.

Keunggulan Snapcart ialah mereka memanfaatkan teknologi daring untuk bisa mengumpulkan data dari belanja offline.

"Sekalipun ada peningkatan e-commerce dan belanja daring, kebanyakan masyarakat masih belanja offline. Tanpa ada adanya data, perusahaan kesulitan untuk menentukan strategi penjualan yang tepat," simpulnya.

Dia melanjutkan, pemahaman soal konsumen saat ini masih kurang diperhatikan.

Padahal, Boston Consulting Group memprediksi kelas menengah hingga dua kali lipat pada 2020 menjadi 141 juta jiwa.

Kendati begitu, mayoritas dari mereka akan tetap belanja di toko secara offline.

E-commerce hanya mengisi 1% dari total transaksi.

Cara kerja

Snapcart menawarkan manfaat, baik bagi perusahaan maupun pelanggan.

Untuk perusahaan penyedia barang, Snapcart menjual modul berisi analisis kebiasaan pelanggan.

Data itu bisa jadi bekal untuk menarget calon konsumen dengan penawaran yang dipersonalisasi berdasarkan lokasi.

Lewat aplikasi itu, perusahaan bisa memasang iklan untuk mengubah preferensi pelanggan.

"Misalnya pelanggan biasa beli sampo merek tertentu. Saat diintervensi dengan penawaran produk, mereka bisa saja terpengaruh untuk lebih memilih produk dari perusahaan yang bekerja sama dengan kita," jelasnya menekankan kecenderungan masyarakat yang dipengaruhi paparan informasi daring.

Sementara itu, pembeli yang menggunakan aplikasi Snapcart bisa mendapatkan pengembalian uang (cash back) dengan memasukkan setruk belanja mereka.

Caranya mudah, pembeli membuka aplikasinya dan melihat daftar produk yang menawarkan promosi cash back.

Poin tambahan bisa dikumpulkan 'in-app brand engagement', seperti mengisi survei produk, mengulas produk, atau mengunggah swafoto untuk menambah cakupan big data yang bisa dikumpulkan Snapcart.

Nantinya uang akan langsung didepositkan ke rekening bank pengguna ketika sudah mencapai jumlah minimum Rp50ribu.

Godaan

Di Indonesia, Snapcart bukanlah satu-satunya pemain dalam hal penawaran cash back.

Aplikasi Paprika, contohnya, menawarkan cash back 10%-30% dari total belanja di toko-toko yang bekerja sama dengan mereka.

Satu poin paprika sama dengan Rp1 dan bisa ditukarkan dengan pemotongan jumlah uang yang harus dibayarkan ke kasir saat belanja, dengan menunjukkan QR code.

Itu memang mirip poin yang diberikan kepada pemegang kartu anggota di toko-toko tertentu.

Hanya basisnya, aplikasi dan pengguna tak mesti jadi anggota tetap toko.

Rama Mamuaya, pendiri Dailysocial.id, yang juga pemerhati perusahaan rintisan di Indonesia.

Mereka ada peluang besar dari star-tup yang menawarkan cash back lewat aplikasi.

"Indonesia pasarnya mayoritas masih 'price-sensitive' dan mereka masih suka pegang cash daripada dapat poin, bonus, atau diskon. Mereka lebih suka cash back," tukasnya.

Tantangannya di masa mendatang, dalam pengamatannya, ialah bagaimana cara agar penawarannya tetap eksklusif.

Bukanlah mustahil bila nantinya akan muncul banyak kompetitor yang menawarkan hal sama. (M-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya