The Reds Jatuh di Lubang yang Sama

Satria Sakti Utama satria@mediaindonesia.com
01/3/2017 00:30
The Reds Jatuh di Lubang yang Sama
(AFP PHOTO / ADRIAN DENNIS)

LIVERPOOL seperti terperosok di lubang yang sama tiga kali berturut-turut di pentas Liga Primer. Kekalahan dari Leicester City 1-3 di King Power Stadium, Selasa (28/2), membuktikan bahwa klub berjuluk the Reds itu selalu kesulitan justru setiap bertemu dengan tim-tim semenjana. Sebelumnya, mereka juga takluk 2-3 dari Swansea yang saat itu terperangkap di zona merah. Kops pun kalah 0-2 di kandang Hull City yang kini menghuni posisi ke-19.

Hal itu berkebalikan dengan fakta bahwa skuat besutan Juergen Klopp tersebut tidak terkalahkan saat harus berhadapan dengan tim-tim di level teratas. Dalam delapan pertandingan terakhir, mereka mampu menundukkan Manchester City dan Tottenham Hotspur, serta menahan imbang Manchester United dan pimpinan klasemen Chelsea.
Inkonsistensi anak didiknya itu membuat Klopp kini dalam tekanan. Mereka hanya mampu sekali menang dalam tujuh laga terakhir di semua ajang. Meskipun demikian, eks pelatih Borussia Dortmund tersebut masih saja membela kinerja buruk pasukan ‘Merseyside Merah’. “Jika kami bermain baik dan kemudian kami kalah, saya harus menerimanya. Tidak ada alasan untuk situasi ini,” tutur Klopp.

Sisakan keganjilan
Sebaliknya bagi Leicester, kemenangan 3-1 atas sang tamu itu justru menyisakan keganjilan. The Foxes yang sepanjang musim tampil buruk, bahkan sampai berada di zona degradasi pada akhir pekan lalu, tiba-tiba tampil luar biasa pascapemecatan Claudio Ranieri. Tak pelak, anggapan bahwa pemecatan juru taktik berjuluk the Tinkerman itu memang diinginkan Riyad Mahrez dkk semakin menyeruak. Hal itu pun seperti diamini para suporter yang menunjukkan solidaritas kepada Ranieri dengan menyalakan lampu ponsel di menit ke-65 untuk menghormati jasa-jasa pelatih berusia 65 tahun itu kepada klub.

Pelatih interim, Craig Shakespeare, menampik anggapan itu. Baginya, keputusan untuk mengembalikan taktik konvensional 4-4-2 ketimbang mempertahankan skema 4-2-3-1 yang belakangan dijajal Ranieri ialah kuncinya. Berkat skema itu, ketajam-an penyerang tersubur kedua di Liga Primer musim lalu, Jamie Vardy, kembali terasah. Ia merobek gawang Liverpool dua kali pada menit ke-28 dan 60 sekaligus membuka kembali keran gol yang ke-ring dalam tujuh laga sebelumnya. Terakhir kali Vardy mencetak gol di kompetisi domestik ialah saat mencetak hattrick untuk mengalahkan Manchester City 4-2 pada 11 Desember 2016 lalu.

“Ini adalah reaksi kami atas kritik selama ini. Kami selalu bekerja keras, tapi hasilnya memang selalu tidak sesuai,” kilah Vardy. Satu gol lain ‘si Rubah’ di­cetak Danny Drinkwater dengan tendangan volinya dari luar kotak penalti pada menit ke-39. Sebaliknya Philippe Coutinho mencetak gol pelipur lara bagi the Reds di menit ke-68. Hasil itu menjadi kemenangan pertama Leicester City sejak pergantian tahun sehingga mengatrol posisi mereka ke peringkat 15. Shakespeare pun merasa siap menggantikan posisi pendahulunya. “Apakah saya pikir saya siap? Ya. Namun, semuanya terserah kepada pemilik klub,” tandas Shakespeare. (AFP/ESPN/R-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya