Drama Gol Terlambat

Ahmad Punto, Wartawan Media Indonesia
25/6/2016 10:45
Drama Gol Terlambat
(AP/Michel Spingler)

BICARA sepak bola sesungguhnya ialah bicara tentang gol. Tak lebih. Nyawa sepak bola mungkin ada di permainan dengan segala taktik dan variasinya, tapi gairah sepak bola tetap ada di gol-gol yang tercipta. Gollah yang bisa membuat penonton bola mengalami trance, lupa diri, sampai teriak-teriak sendiri.

Sepak bola katanya penuh drama. Namun, adakah drama lapangan hijau yang lebih menarik, yang lebih menguras emosi, daripada drama yang melibatkan gol di dalamnya? Percaya atau tidak, dalam sebuah pertandingan yang berakhir tanpa gol, sebagus apa pun permainan yang ditunjukkan kedua tim, drama yang muncul pasti cuma drama kekesalan penonton.

Bagaimana dengan permainan indah? Bukankah itu juga bisa menciptakan drama? Oke, tapi Anda juga pasti tahu bila permainan indah itu juga diciptakan (atau tercipta) semata-mata demi menghasilkan gol?

Total football-nya Rinus Michels misalnya, atau tiki taka-nya Pep Guardiola, atau gegenpressing milik Juergen Klopp yang lebih kekinian, bisa dikenang karena pola-pola permainan itu pernah membawa tim yang mengaplikasikannya mencapai level tertinggi.

Coba renungkan, bagaimana mereka bisa menggapai level tinggi kalau tak ada gol yang dihasilkan dari skema permainan itu? Artinya, tak bisa disangkal, gol ialah gairah sepak bola. Main indah saja tak cukup, harus ada gol untuk memaripurnakan keindahan itu.

Karena itu, sepak bola cenderung berkiblat pada hasil (gol), bukan pada proses. Bahkan, dalam sepak bola, hasil boleh saja mengkhianati proses. Tak apalah proses kerap dikhianati, yang penting penonton, pendukung, dan penikmat bola menjadi ber-gairah.

Sayangnya, Piala Eropa 2016 di Prancis kali ini kurang mampu memompa gairah itu. Sampai fase akhir babak penyisihan grup, jumlah gol yang dihasilkan minim, cuma 69 gol dari 36 pertandingan. UEFA mencatat rasio gol Euro 2016 sebesar 1,92 gol per laga itu merupakan terendah sejak Euro 1980.

Mayoritas laga-laga di penyi-sihan grup hanya menghasilkan skor tipis dengan jumlah gol yang bikin kesal. Skor kemenangan terbesar tak lebih dari 3-0, itu pun cuma tiga tim yang mampu melakukannya. Satu-satunya pertandingan keren yang menyajikan skor besar ialah laga terakhir penyisihan Grup F antara Hongaria dan Portugal yang berakhir imbang 3-3.

Namun, untungnya, di balik layunya gairah karena aliran gol yang mampat, turnamen ini terselamatkan oleh cukup tingginya persentase gol-gol telat. Gol-gol yang baru datang di akhir-akhir laga.

Coba kita simak datanya. Dari total 69 gol yang tercipta di penyisihan grup, 27,5% atau 19 gol dihasilkan di atas menit 87. Bahkan, ini yang istimewa, sedikitnya 9 gol dicetak di menit 90 plus-plus alias di waktu tambahan babak kedua.

Mengapa gol-gol terlambat disebut sebagai penyelamat? Bisa dibilang itulah satu-satunya pencipta drama di penyisihan grup. Setidaknya, itu yang masih bisa memunculkan histeria penonton.

Coba tengok bagaimana misalnya pendukung Inggris melompat, menjerit, dan berjoget-joget ketika Daniel Sturridge menceploskan gol kemenangan Inggris atas Wales di menit 90+1.

Atau seperti yang ditulis Independent.co.uk, seorang komentator lokal di Islandia sampai berteriak-teriak seperti orang gila saat Arnor Ingvi Traustason mencetak gol dramatis ke gawang Austria pada menit 90+4, yang membawa Islandia ke posisi kedua Grup F dan lolos ke 16 besar.

Hingga hari ini, tidak ada yang mengalahkan drama yang muncul dari gol-gol telat. Gol-gol itulah yang membuat gairah Euro 2016 yang meredup tak lekas mati. Jadi, sembari berharap di babak knockout nanti makin banyak gol bakal tercipta, kita, terutama saya, tentu ingin tren gol-gol terlambat itu tak berakhir begitu saja. (R-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya