Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
KEMAJUAN ekonomi Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir yang membuat mereka dinobatkan sebagai salah satu raksasa dunia ternyata paralel dengan ambisi mereka.
Terakhir, Tiongkok berambisi menjadi kiblat baru sepak bola dunia.
Tujuan mereka jelas, yakni meredam dominasi Eropa sekaligus menjuarai Piala Dunia.
Sebagai langkah awal, mereka mulai gencar merekrut para pemain bintang.
Geliat tersebut bahkan semakin gila-gilaan musim ini.
Klub-klub Chinese Super League (CSL) berani mengeluarkan dana lebih dari 259 juta euro atau senilai Rp3,9 triliun untuk merekrut pemain.
Nilai tersebut naik 60% ketimbang musim lalu.
Jumlah tersebut juga melebihi total belanja pemain klub-klub Liga Primer Inggris pada musim dingin ini yang 'hanya' 247 euro (Rp3,7 triliun).
Lebih hebat lagi, para pemain yang mereka rekrut itu ialah mereka yang masih dalam 'usia emas'.
Hal itu kontras dengan klub-klub di Timur Tengah atau liga sepak bola Amerika Serikat (MLS) yang hanya berani memburu pemain yang sudah hampir 'habis'.
Akan tetapi, di mata sejumlah pihak, langkah pemilik klub-klub CSL menggelontorkan dana besar merekrut pemain itu bukan semata-mata kecintaan mereka membangun sepak bola.
Namun, itu hanya lebih kepada kepentingan kekuasaan politik semata.
Hal itu ditunjukkan dengan keputusan pembelian pemain dengan mahar yang sangat mahal, tapi tidak mempertimbangkan kualitas pemain.
Tidak jarang pula pemain yang direkrut sudah berada di usia diakhir 20-an atau sudah melewati penampilan terbaiknya.
Contohnya keputusan Guangzhou Evergrande yang merekrut penyerang Jackson Martinez yang terbukti tampil buruk bersama Atletico Madrid musim ini.
Tampil sebanyak 22 kali, pemain 29 tahun itu hanya mampu membobol gawang lawan sebanyak tiga kali.
Tentu performa Martinez tidak sepadan dengan ganjaran 31,5 juta pound atau Rp612 miliar yang digelontorkan klub yang bermarkas di Stadion Tianhe tersebut.
"Terdapat satu alasan baru untuk para miliarder Tiongkok berinvestasi di sepak bola. Mereka ingin membangun modal politik di saat yang tidak menentu seperti saat ini," ungkap penulis sekaligus pengamat sepak bola Tiongkok Rowan Simons.
Belanja berlebihan para pengusaha kaya pemilik klub-klub CSL itu muncul setelah ada pernyataan ada Partai Komunis berkuasa tentang pentingnya sepak bola yang merupakan bagian dari mimpi Tiongkok.
Pernyataan itu selaras dengan pernyataan Presiden Xi Jinping yang menyebut impiannya menjadi tuan rumah Piala Dunia dan memenanginya suatu saat nanti.
Sejak itu, program revitalisasi sepak bola pun dimulai.
Tahun lalu saja Komite Legislatif Tiongkok telah menyetujui 50 rencana ambisi pemerintah termasuk termasuk membangun 50 ribu sekolah sepak bola dalam waktu 10 tahun, membuat sepak bola menjadi olahraga untuk beberapa siswa SD dan sekolah menengah, serta memisahkan Asosiasi Sepak Bola Tiongkok dari birokrasi pemerintah.
"Itu yang presiden mereka inginkan. Bagi saya itu contoh keputusan cerdas dan rencana yang tepat. Ini bukan tentang individu, melainkan mengenai aspek yang lebih luas," sebut agen pemain yang menjadi perantara pembelian pemain timnas Australia, Trent Sainsburk, ke Jiangsu Suning.
Didukung pengusaha
Klub Liga Super Tiongkok Jiangsu Suning menjadi klub paling boros dalam bursa transfer musim dingin Januari lalu.
Klub yang berpusat di Kota Nanjing itu setidaknya telah mengeluarkan uang hampir 60 juta pound atau Rp1,1 triliun hanya untuk memboyong dua pemain saja, yakni Alex Teixeira dari Shaktar Donetsk dan Ramires dari Chelsea.
Kesuksesan Jiangsu Suning merekrut dua pemain itu tidak terlepas dari kocek tebal sang pemilik baru, Zhang Jindong.
Pengusaha terkaya kesembilan di Tiongkok itu baru pada Desember tahun lalu membeli kepemilikan Jiangsu.
Ia membeli Jiangsu dengan mahar US$80 juta melalui perusahaan miliknya, Grup Suning. Perusahaannya tersebut merupakan salah satu ritel terbesar yang memiliki lebih dari 1.600 toko di Tiongkok.
Bukan itu saja, Zhang juga duduk di komite konsultatif politik pemerintahan komunis Tiongkok.
"Dia (Teixeira) tentu pemain yang sangat, sangat, luar biasa. Dia tidak akan pergi dari Ukraina tanpa ada alasan dan dia juga tidak menuju Tiongkok tanpa alasan terkait dengan sepak bola. Ini tentang jumlah uang yang gila," ungkap pengamat sepak bola Mark Dreyer.
"Jika pemerintah Tiongkok mengumumkan reformasi sepak bola, keesokan harinya ada puluhan orang mendaftar klub sepak bola. Jelas tidak satu pun dari mereka ada hubungannya dengan olahraga. Namun, mereka berpikir ini kesempatan untuk bisa mendapatkan sepotong kue berikutnya," imbuh Dreyer.
Selain Jiangsu Suning, hampir semua klub di Tiongkok memang disokong dana melimpah dari para pengusaha kaya di 'Negari Panda'.
Klub Hebei China Fortune, misalnya.
Mereka dimiliki pengembang di Beijing yang didirikan miliader Wang Wenxue.
Begitu juga Shanghai Shenhua yang menjadi bagian dari grup pengembang Greenland yang merupakan perusahaan investasi perumahan mewah.
"Ketika pemerintah Tiongkok mengatakan mereka sedang mengatur rencana untuk sesuatu, itu berarti bagaimana Anda harus mendapatkan sisi positifnya," kata David Hornby, direktur bisnis olahraga dari kelompok manajemen merek Mailman di Shanghai.
Kontraproduktif
Di sisi lain, langkah pengusaha kaya yang berbondong-bondong mengakuisisi klub sepak bola dan mengeluarkan uang jutaan pound itu dinilai kontraproduktif dengan impian pemerintah Tiongkok.
Pembelian pemain asing yang terlalu boros dengan gaji selangit tidak sejalan dengan peningkatan mutu pemain nasional.
Itu akan terjadi ketimpangan lantaran pembatasan gaji pemain hanya diberi kepada pemain lokal dan tidak berlaku untuk pemain asing.
Selain itu, jumlah uang yang mencapai angka fantastis seharusnya bisa dimanfaatkan untuk pengembangan pemain muda.
Hal itu disampaikan pengamat olahraga Tiongkok dari Universitas Lausanne Swiss, Gao Zhaoyu.
"Beberapa klub Eropa mengalami kondisi finansial yang tidak stabil. Tentu mereka harus menjual pemain ke klub besar termasuk klub-klub di Tiongkok," jelas Gao Zhaoyu.
Terlepas dari nilai uang yang besar saat ini, sejumlah pengamat juga meragukan para pemilik klub untuk terus mengeluarkan uang besar ke depannya.
Momen ini hanya disebut euforia sementara saja yang tidak sedikit pun membantu keinginan pemerintah menjadi juara Piala Dunia.
Terlebih ambisi itu belum tentu berlanjut jika terjadi perpindahan kekuasaan di Tiongkok.
"Yang paling disayangkan dan tentu sama mengejutkannya ialah investasi ini hanya berkonsentrasi pada puncak piramida sepak bola. Begitulah revolusi sepak bola yang kental dengan kepemimpinan politik harus dijalankan, kecuali penggantinya juga penggemar sepak bola," jelas pengamat dan penulis, Simons. (Berbagai sumber/R-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved