Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
BEBERAPA hari lalu saya ke pusat perbelanjaan Thamrin City untuk berbelanja baju buat salat Id. Saya memilih setelan hitam-hitam, sengaja supaya terlihat agak kurus, hehe.
Setiap saya mendatangi toko baju, saya pasti ditawari juga peci. Macam-macam jenis, model, dan bahan. Namun, saya tetap tidak membeli. Nggak tahu kenapa, saya merasa segala hal yang menutupi kepala rasanya tidak matching dengan bentuk muka saya.
Lagi pula, saya masih punya peci yang bagus karena jarang dipakai. Peci itu saya beli untuk dipakai ketika saya menikah delapan tahun lalu, dan saya belum pernah beli lagi sejak saat itu.
Siapa orang paling identik dengan peci? Saya kira banyak yang jawab, Bung Karno. Dari mulai foto, film dokumenter, sampai patung lilinnya di Madame Tussaud memperlihatkan peci jadi bagian dari penampilannya.
Menurut beberapa sumber, Soekarno mulai mengenakan peci buat identitas diri (kelak jadi identitas bangsa) saat rapat Jong Java di Surabaya pada Juni 1921. Ia merasa kaum inteligensia (ningrat) tidak mau memakai peci karena dianggap berpakaian kaum lebih rendah.
Dari buku Penyambung Lidah Rakyat karangan Cindy Adams kita tahu Soekarno berkata, ”…Kita memerlukan sebuah simbol kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.”
Sejak itu Bung Karno selalu memakai peci sebagai simbol ‘nasionalisme melalui pakaian’, sebagaimana Gandhi dengan jubah Swadesi-nya, Nehru dengan peci putihnya, dan Mao Ze Dong dengan pakaian safarinya.
Bung Karno mengawal simbol nasionalisme tidak tertanam pada pakaian khusus, tapi pada peci. Baju boleh apa saja, peci jadi pemersatunya.
Banyak sejarah asal kata peci. Ada yang bilang dari bahasa Belanda pet (topi) dan je (kecil). Ada juga yang bilang dari bahasa Turki fezzi. Kalau saya mengenalnya sejak kecil dengan istilah kopiah yang diadopsi dari bahasa Arab kafiyyeh meski bentuknya berbeda.
Saat ini penutup kepala itu sudah banyak sekali bentuknya. Lihat saja jika salat Jumat. Saya tak pernah berubah, pecinya selalu model klasik hitam beludru dan belinya selama bersama bapak, di M Iming, pembuat peci terkenal di Bandung.
Peci memang khas umat Islam, tapi peci juga ikon nasional. Siapa pun berhak memakai peci sebagai lambang identitas Indonesia. Inilah yang digagas Soekarno, sang founding father negeri ini.
Saya kira Bung Karno tersenyum di alam sana jika melihat anggota kabinet berfoto bersama. Meski berbeda suku, agama, dan partai, mereka sama-sama memakai peci.
Jadi, Idul Fitri kali ini bakal membeli peci baru? (S-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved