Menikmati Suasana Indonesia di UEA

Ardy Muawin*
19/6/2016 07:17
Menikmati Suasana Indonesia di UEA
(irishtimes.com)

TINGGAL di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), pada bulan Ramadan tahun ini setelah dua tahun tinggal di Brisbane, Australia, sungguh hal yang terasa luar biasa. Seperti halnya Indonesia, UEA adalah negara muslim dengan kemajemukan yang tinggi. Banyak penduduk UEA merupakan pendatang nonmuslim.

Kultur budaya arab yang cukup semarak di dalam menyambut Ramadan tidak menghilangkan suasana Ramadan yang saya rasakan di Indonesia. Menjelang Ramadan, jika di Indonesia banyak sekali ucapan-ucapan seperti ‘marhaban Ramadan’ atau ‘selamat menjalankan ibadah puasa’, di UEA ini masyarakat menyambut Ramadan dengan ucapan ‘Ramadan kareem’ ataupun ‘Ramadan mubarak’ yang berarti ‘Ramadan yang suci’ atau juga ‘selamat merayakan Ramadan’.

Tantangan terbesar berpuasa di UEA ialah panas yang kurang bersahabat, mencapai 45 derajat celsius pada siang hari. Abu Dhabi merupakan kota di pinggir teluk Persia sehingga menjadikannya berkelembapan tinggi. Pada saat yang sama, puasa tahun ini berlangsung 15 jam, mulai pukul 04.00 sampai dengan sekitar pukul 19.00.

Untungnya, udara yang panas dan waktu yang cukup panjang ini terkompensasi dengan peraturan pemerintah lokal yang mengurangi jam kantor dan sekolah, masing-masing dikurangi 2 jam per hari. Di Abu Dhabi, jumlah orang Indonesia cukup banyak. Sebagian dari mereka ialah ekspatriat profesional di bidang minyak dan gas, IT, perbankan, dan penerbangan. Komunitas ini dengan dimotori Keluarga Masyarakat Muslim Indonesia di Abu Dhabi dan difasilitasi KBRI menyelenggarakan berbagai macam kegiatan Ramadan.
Setiap hari selalu diadakan salat tarawih di KBRI. Di akhir pekan, ada acara khusus, baik di KBRI ataupun Wisma Duta, kediaman resmi Dubes RI. Acara-acara itu sangat kental dengan suasana Indonesia, terutama dengan dihidangkannya makanan khas Indonesia. Situasi itu menambah suasana kebersamaan sebagai bangsa dan menjadi obat rindu kampung halaman.

Rasa Indonesia
Sebuah keniscayaan bahwa kampung halaman selalu dirindukan pada saat berada di negeri orang. Satu suasana yang dirasa mirip dengan Indonesia ialah budaya iftar (berbuka puasa). Seperti di Indonesia, banyak restoran dan hotel menawarkan paket berbuka puasa. Toko-toko makanan ramai menjelang berbuka puasa dengan menyajikan beragam menu makanan ringan sampai utama.

Hal itu hanya terjadi di bulan Ramadan. Hal itu pun mengingatkan saya akan pasar makanan Ramadan di Bendungan Hilir, Jakarta.

Satu kebiasaan warga lokal di bulan Ramadan ialah kegiatan ekonomi yang hidup dari pukul 21.00 sampai 02.00 menjelang sahur. Pusat-pusat pertokoan tetap buka saat tengah malam hingga menjelang sahur. Saat kami datang ke salah satu restoran franchise terkenal sepulang dari salat tarawih di Masjid Raya Sheikh Zayed, restoran sudah penuh, padahal waktu menunjukkan pukul 23.00. Masyarakat lokal telah beradaptasi dengan kondisi Ramadan sehingga aktivitas ekonomi tetap berjalan dengan baik dan rezeki yang berkah tetap mengalir.

Di mana pun kami berada, baik di Indonesia maupun di negeri seberang, Ramadan akan selalu menjadi saat-saat yang spesial bagi kami. (H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya
Renungan Ramadan
Cahaya Hati
Tafsir Al-Misbah