Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
PUASA di Eropa selalu jadi cerita ‘luar biasa’ karena durasi puasa dan ritmenya berbeda dengan puasa di Tanah Air. Meski bukan pertama kali berpuasa di negara Eropa, tetap saja ketika kembali berpuasa dengan ‘gaya Eropa’, kami sekeluarga terkaget-kaget, terutama anak-anak.
Tahun ini merupakan puasa ketiga kami di Eropa, tepatnya di Den Haag, Belanda. Meski belum masuk musim panas, masih spring, durasi puasa di Belanda kali ini sudah panjang.
Waktu subuh dimulai pukul 03.00 pagi dan waktu berbuka puasa pukul 22.00. Total 19 jam kami berpuasa. Tantangan terberat bukan menahan laparnya karena suhu masih ramah antara 8-24 derajat celsius, didukung asrinya Den Haag yang banyak pohon.
Masalahnya justru pada pengaturan waktu berbuka puasa, mengatur makan, salat magrib, isya, tarawih, dan waktu istirahat. Kami sekeluarga (saya, istri, dan ketiga anak kami yang berada di rentang usia 5-11 tahun) tidak setiap malam dapat salat tarawih di Masjid Al Hikmah Den Haag karena ritmenya yang masih sulit diterima fisik kami sekeluarga.
Bayangkan, pukul 22.00 membatalkan puasa dengan makanan ringan, salat magrib berjemaah, lalu makan berat. Ketika perut sudah kenyang dan mata terasa berat, pukul 24.00 saatnya salat isya. Kami salat isya berjemaah diikuti tarawih. Praktis, tanpa ceramah Ramadan. Pukul 01.00, salat baru selesai.
Selanjutnya, kami pulang ke rumah di Wassenar, menembus kegelapan malam Den Haag, saat hampir semua orang Belanda terlelap. Meski mata sudah mengantuk dan perut masih penuh, kami harus sahur. Pukul 02.00, kami sahur dengan ‘terpaksa’ sebagai bekal berpuasa 19-an jam di hari itu.
Selanjutnya, menunggu subuh. Karena jam tidur kami sudah terpotong-potong, menahan mata tetap terbuka untuk salat subuh merupakan perjuangan berat. Lepas subuh barulah kami tidur selama 4 jam untuk bekal beraktivitas normal hari itu.
Anak dikhususkan
Irama puasa semacam itu memang tidak mudah diikuti anak-anak. Agar puasa menyenangkan, kami harus melakukan penyesuaian. Tugas pertama ialah meyakinkan pihak sekolah bahwa selama jam sekolah anak-anak kami tidak diperkenankan makan dan minum.
Saya dan istri khusus menghadap kepala Sekolah Bloemcampschool tempat anak kami belajar. Meski telah memahami puasa Ramadan bagi umat muslim merupakan hal biasa, dia mengingatkan, “Tidakkah anak Anda terlalu kecil untuk memulai puasa?”
Di Bloemcampschool, kesehatan dan kebahagiaan anak-anak memang prioritas utama seperti umumnya sekolah Belanda. Dengan melihat kondisi anak-anak, kami pun membuat komitmen. Pada hari kerja, kami berbuka puasa dan salat tarawih di rumah saja. Jadi, setelah berbuka puasa, salat magrib, sikat gigi, dan langsung tidur.
Pukul 02.00 bangun untuk salat isya dan tarawih, dilanjutkan dengan makan sahur. Selepas sahur, mengaji atau berbincang ringan soal agama sampai waktu subuh dan langsung salat subuh. Lepas salat subuh baru kami tidur dan anak-anak kami bangunkan pukul 07.30 untuk bersiap siap ke sekolah.
Namun, namanya anak-anak, praktiknya tidak semudah itu. Mereka harus dibujuk, diiming-imingi. Kalau mereka sedang letih, prosesnya lebih sulit lagi. Namun, itulah seninya berpuasa dengan kondisi yang berbeda dari Indonesia, tanpa astmosfer puasa khas Tanah Air. (H-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved