Bertahlil dengan Tasbih Raksasa

Farhan Matappa
13/6/2016 07:35
Bertahlil dengan Tasbih Raksasa
(MI/Farhan Matappa)

PENINGGALAN budaya religius yang tersebar di berbagai daerah di Tanah Air dapat menjadi penanda pertautan budaya lokal dengan masuknya ajaran Islam ke Nusantara. Di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, misalnya, tersimpan sejumlah cagar budaya Islam. Salah satunya tasbih ‘raksasa’ yang berusia ratusan tahun.
Berada di kompleks Masjid Nurul Hidayah, Kecamatan Binuang, Polewali Mandar, tasbih itu memiliki panjang 38 meter dengan jumlah biji tasbih 3.300 buah. Tasbih itu diperkirakan berusia lebih dari 300 tahun. Keistimewaan lainnya, biji tasbih kuno itu menggunakan buah manjakani yang dikabarkan didatangkan langsung dari Arab Saudi.
Saat ini tasbih itu disimpan dan dipelihara Ustaz Muslimin yang merupakan keturunan keenam dari Syekh Abdul Kadir, seorang syekh dari Arab Saudi yang diyakini sebagai sosok pembuat tasbih itu saat baru datang ke daerah tersebut untuk menyebarkan agama Islam.
Muslimin mengungkapkan, tantangan me­rawat tasbih kuno itu ialah memeliharanya agar tetap awet karena nilai sejarahnya yang sangat besar. Ia dan para pewaris tasbih pun menempuh sejumlah upaya agar tasbih kuno itu tetap terpelihara dengan baik, antara lain, membatasi penggunaannya.
Bila sebelumnya tasbih itu kerap digunakan warga untuk acara keagamaan, seperti akikah, tahlilan, hingga khataman Alquran, saat ini tasbih hanya dikeluarkan dari tempatnya di saat Ramadan.
“Saat ini kita gunakan selesai tarawih dan setelah salat Jumat,” terang Muslimin.
Tantangan lain yang dihadapi ialah tindakan sejumlah warga yang kerap nekat mengambil biji tasbih karena mereka meyakini biji tasbih itu bisa menjadi obat. Akibatnya, saat ini biji tasbih dari buah manjakani itu telah berkurang dari jumlah awal. Agar tetap genap 3.300 buah, ahli waris bersama pengurus masjid menggantinya dengan kayu biasa.

Digunakan bersama
Karena ukurannya yang besar dan panjang hingga puluhan meter, penggunaan tasbih tersebut terbilang unik. Caranya, setelah selesai salat tarawih, jemaah baik laki-laki maupun perempuan duduk membentuk lingkaran penuh, kemudian tasbih raksasa itu digunakan bersama-sama. Mereka memutar tasbih sambil terus melafalkan kalimat tahlil, tasbih, dan tahmid sebanyak 3.300 kali, sesuai dengan jumlah biji tasbih.

Warga Binuang meyakini, sesuai ajaran agama, berzikir kepada Allah SWT, terutama di bulan suci Ramadan, akan membawa keberkahan serta mendapat ganjaran amal yang dilipatgandakan.

Pemerintah setempat melalui Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala sebenarnya telah meminta ahli waris untuk menyimpan tasbih itu di museum. Namun, ahli waris bersama jemaah masjid menilai tasbih kuno itu lebih tepat disimpan warga agar dapat digunakan sewaktu-waktu. “Petugas balai memang pernah datang menawarkan agar (tasbih) disimpan di museum, tapi kami menilai lebih baik di­simpan di sini saja karena dapat digunakan untuk beribadah bersama para warga,” kata Muslimin. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya
Renungan Ramadan
Cahaya Hati
Tafsir Al-Misbah