Korupsi Kuat Bercokol di Pertahanan

Golda Eksa
05/4/2017 08:27
Korupsi Kuat Bercokol di Pertahanan
((Dari kiri) Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Tama S Langkun, Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf dan Deputi Sekjen TII Dedi Haryadi memberikan paparan tentang pengadaan dan pemeliharaan alutsista yang rawan korupsi. --MI/M. Irfan)

PEMBELIAN hingga perawatan alat utama sistem pertahanan, khususnya pengadaan alutsista, masih sangat rentan korupsi. Presiden Joko Widodo perlu mengevaluasi sektor pertahanan secara menyeluruh.
Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf mengatakan pola korupsi yang biasa terjadi di sektor tersebut di antaranya penggelembungan harga (mark-up), pembelian alutsista di bawah spesifikasi standar, serta pemangkasan biaya perawatan.

Fakta itu diperkuat Government Defence Anti-Corruption Index yang dirilis Transparency Internasional pada 2015. “Indonesia ditempatkan pada grade D yang berarti sangat tinggi terjadinya korupsi di sektor pertahanan,” ujar Al Araf, di sela diskusi Membongkar Korupsi Alutsista, di Kantor Imparsial, Jakarta, kemarin.

Menurut Al Araf, ada lima hal yang menyebabkan terjadinya korupsi alutsista. Pertama, tertutupnya ruang bagi lembaga independen, seperti KPK untuk mengusut.

Kedua, pelibatan pihak ketiga (broker) dalam pengadaan alutsista. Al Araf mencontohkan kasus PT PAL Indonesia terkait penjualan kapal SSV kepada Filipina, dan pembelian jet tempur Sukhoi.

Ketiga, pembelian alutsista bekas yang sulit untuk dipantau khususnya terkait dengan proses retrovit. Keempat, dalih tentang ‘rahasia negara’ dalam pembelian alutsista juga menyulitkan dalam upaya pemberantasan korupsi di sektor ini.”

Terakhir, terang Al Araf, minimnya pengawasan internal dan eksternal (DPR) dalam proses pengadaan dan pemeliharaan alutsista juga menjadi ruang yang berpotensi terjadinya korupsi di sektor pertahanan.
“Kami mengapresiasi langkah KPK dalam pengungkapan kasus korupsi di PT PAL. Langkah itu harus ditindaklanjuti dengan membongkar adanya keterlibatan pihak lain dalam kasus ini,” tuturnya.

Senada, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun sepakat kasus korupsi PT PAL membuktikan rentannya sektor pertahanan. Pada 2016 pun mantan pejabat di Kementerian Pertahanan, Brigjen Teddy Hernayadi divonis seumur hidup karena korupsi senilai US$12 juta.

“Harus diperhatikan batasan mana yang bersifat rahasia atau tertutup, sehingga publik bisa ikut mengontrol,” terang Tama.

Deputi Sekjen Transparency International Indonesia (TII) Dedi Haryadi, menambahkan kecenderungan timbulnya korupsi serupa di sektor pertahanan hanya bisa diatasi apabila ada keseriusan untuk mengedepankan langkah pencegahan.

Ruang subur
Bukan hanya di sektor pertahanan, ruang subur tindak pidana korupsi juga terbuka dalam pengadaan barang dan jasa secara umum di instansi negara/pemerintahan. Jaksa KPK Yadin menyebut penyelewengan itu dilakukan dalam banyak modus, seperti suap, penggelapan, pemerasan, penyalahgunaan wewenang/jabatan, dan pertentangan kepentingan atau memiliki usaha sendiri dengan melakukan transaksi publik dengan menggunakan perusahaan milik pribadi atau keluarga.

Selain itu, nepotisme dan kontribusi atau sumbangan ilegal. “Contohnya, partai politik atau pemerintah yang sedang berkuasa pada saat itu menerima sejumlah dana sebagai suatu kontribusi dari hasil yang dibebankan pada kontrak-kontrak pengadaan barang dan jasa pemerintah,” pungkasnya. (Cah/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya