Korupsi KTP-E Renggut Hak Politik Rakyat

Christian Dior Simbolon
02/4/2017 19:15
Korupsi KTP-E Renggut Hak Politik Rakyat
(MI/ARYA MANGGALA)

KASUS korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-e) bukan hanya merugikan keuangan negara saja. Tindak pidana korupsi tersebut juga merenggut hak konstitusional warga negara. Pasalnya, KTP-e merupakan salah satu persyaratan menggunakan hak pilih di pemilihan umum (pemilu).

Hal itu diutarakan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini dalam sebuah diskusi di D'Hotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, Minggu (2/4).

"Ini bukan hanya menyoal kerugian negara atau soal marwah kita dalam mengelola negara yang melibatkan eksekutif dan legislatif. Korupsi KTP-e juga merupakan kejahatan hak elektoral warga negara," ujar Titi.

Sebagai gambaran, Titi mencontohkan terenggutnya hak politik warga DKI Jakarta pada Pemilihan Gubernur DKI 2017. Dari total 7.356.426 warga DKI yang tercatat dalam daftar pemilih tetap, hanya 5.564.313 warga yang menggunakan hak pilih mereka.

Meskipun memegang surat keterangan, Titi mengatakan, banyak warga yang ditolak menyoblos oleh petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) karena beragam alasan.

"Meskipun banyak faktor, maladministrasi KTP-e merupakan salah satu penyebabnya. Untuk itu, putaran kedua harus dipastikan jangan sampai urusan administrasi menghambat partisipasi warga," ujarnya.

Selain syarat masuk dalam DPT, sesuai UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada, kepemilikan KTP-e juga merupakan syarat yang harus dilampirkan calon kepala daerah. Bentuk dukungan bagi calon perseorangan juga harus berupa fotokopi KTP-e warga.

"Jadi korupsi KTP-e ini dampaknya merugikan proses demokrasi kita," imbuhnya.

Peneliti Tranparansi Internasional Indonesia (TII), Jonni Oeyoen, mengatakan, terungkapnya megakorupsi KTP-e yang diduga melibatkan oknum-oknum pemerintah dan DPR harus dijadikan momentum untuk membenahi proses penganggaran dan perencanaan pengadaan barang dan jasa di pemerintahan.

"Ke depan penganggaran dan perencanaannya harus transparan dan berbasis kebutuhan, bukan keinginan. Kalau basisnya keinginan, nanti akan ada kepentingan-kepentingan yang masuk, potensi korupsi besar kalau begitu," cetusnya.

Di sisi lain, Jonnie mengatakan, terkuaknya korupsi KTP-e menunjukkan bahwa banyak kader yang 'dikirim' partai politik ke Senayan tidak berintegritas dan korup.

"Di sini lah pentingnya perbaikan rekrutmen dari parpol," jelasnya.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Yenny Sucipto, meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut tuntas kasus korupsi proyek KTP-e. Pasalnya, kepercayaan publik terhadap penegakkan hukum dan lembaga legislatif akan semakin tergerus jika kasus tersebut dibiarkan mangkrak seperti kasus-kasus korupsi lainnya.

"Kasus KTP-e ini korupsi by design. Sangat sistemik, mulai dari pembahasan dan perencanaan dan pelaksanaannya. Aktornya bukan hanya di DPR saja tapi juga di eksekutif. KPK harus berani ungkap semuanya," cetus Yenny. (OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya