Jaksa Sebut Miryam Memberi Kesaksian Palsu

Erandhi Hutomo Saputra
30/3/2017 20:22
Jaksa Sebut Miryam Memberi Kesaksian Palsu
(ANTARA/Sigid Kurniawan)

JAKSA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut anggota DPR F-Hanura Miryam S Haryani telah memberikan keterangan palsu dalam persidangan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-e). Kesimpulan itu didapat setelah Miryam diperiksa untuk kedua kali di persidangan, Kamis (30/3).

Akibat kesaksian palsu tersebut, Jaksa KPK meminta Majelis Hakim untuk menetapkan Miryam sebagai tersangka sesuai Pasal 174 KUHAP dan menahan Miryam.

"Sesuai Pasal 174 KUHAP kami harap majelis menetapkan saksi Miryam untuk keterangan palsu dan untuk itu (perlu) dilakukan penahanan kepada yang bersangkutan," pinta Jaksa KPK Irene Putri kepada Majelis Hakim.

Menanggapi permintaan tersebut, Majelis Hakim belum bisa mengabulkan. Ketua Majelis Hakim Jhon Halasan Butar-Butar berpendapat pihaknya perlu mendengar kesaksian dari saksi-saksi yang lain terlebih dahulu. Namun, majelis mempersilakan KPK menempuh proses hukum lain terhadap Miryam di luar Pasal 174 KUHAP.
Selain Pasal 174 KUHAP, terdapat Pasal 21 dan Pasal 22 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang memungkinkan KPK untuk menetapkan saksi sebagai tersangka. Pasal 21 karena saksi merintangi, mencegah, atau menggagalkan secara langsung maupun tidak dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan, adapun Pasal 22 karena saksi memberikan keterangan palsu, ancaman pidana kedua pasal tersebut mencapai 12 tahun.

"Majelis berpendapat bahwa untuk menggunakan apa yang disampaikan tadi (menetapkan tersangka dan menahan) memandang perlu lebih lanjut kita dengar keterangan saksi-saksi lainnya. (Namun) tidak berarti Anda (KPK) berhenti menempuh proses hukum di luar Pasal 174 yang Anda maksud tadi," jawab Jhon.

Diberitakan, KPK sebelumnya pernah mengusut saksi korupsi yang memberikan keterangan palsu yakni teman dekat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, Muchtar Effendi. Muchtar saat itu dijerat dengan Pasal 21 dan 22 UU Tipikor dan Majelis Hakim menghukum Muchtar dengan 5 tahun penjara denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan pada 2015 lalu.

Seusai sidang, Jaksa Irene tidak menutup kemungkinan menjerat Miryam dengan pasal yang sama seperti diterima Muchtar. Selain juga menjerat Miryam dengan Pasal 2/Pasal 3 UU Tipikor sebagaimana dakwaan terhadap mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Dukcapil Sugiharto.

"Bisa saja Bu Miryam akan kita tetapkan (sebagai tersangka) bersama-sama (sesuai) Pasal 2 dan Pasal 3, dan pasal (keterangan palsu)," ucap Jaksa Irene.

Dalam persidangan pertama Kamis (23/3) lalu, Miryam mencabut seluruh berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuatnya di depan penyidik KPK karena alasan mendapat tekanan dari penyidik hingga muntah dan mencret. Adapun dalam persidangan kedua, Miryam tetap merasa ditekan meskipun ketiga penyidik yang dihadirkan di persidangan membantah dan jaksa menunjukkan rekaman pemeriksaan terhadap Miryam yang terlihat Miryam dalam keadaan tenang dan santai.

"Dalam BAP itu mereka (penyidik) ketak-ketik sudah jadi. Lalu disuruh seperti buruan ini, biar cepet, yang penting selesai," kata Miryam.

Namun keterangan Miryam itu dibantah ketiga penyidik yang dihadirkan Jaksa KPK yakni Novel Baswedan, Ambarita Damanik, dan Irwan Santoso. Dalam sidang itu, Novel menyebut jika tekanan terhadap Miryam justru berasal dari beberapa anggota Komisi III DPR sebelum Miryam diperiksa KPK. Hal itu berasal dari penuturan Miryam saat diperiksa oleh Novel.

Nama-nama anggota Komisi III itu, menurut Novel, ialah Ketua Komisi III dari Fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu, anggota Komisi III dari Fraksi Golkar Aziz Syamsudin, dan satu orang yang namanya tidak diingat Novel.

"Pada saat itu yang disebut adalah Azis Syamsuddin, Desmond Mahesa, Masinton Pasaribu, seingat saya atas nama Sarifuddin Suding, satu lagi saya lupa tapi bu Miryam menyebut partainya dan minta penyidik membuka internet siapa anggota Komisi III dari partai ini lalu dia bilang yang ini orangnya tapi saya lupa namanya," kata Novel.

Dalam sidang itu, Jaksa KPK Abdul Basir mengonfirmasi apakah dalam satu atau dua minggu sebelum bersaksi di persidangan Miryam pernah didatangi oleh pengacara muda saat berkunjung ke kantor pengacara Elza Syarief yang meminta Miryam untuk mencabut BAP, Miryam menampik.

"Ketemu tidak pengacara muda yang bukan pegawai Elza meminta untuk cabut BAP?" tanya Jaksa Basir.

"Tidak," jawab Miryam.

Seusai sidang, Jaksa Irene enggan menyebut nama pengacara muda yang dimaksud.

Miryam juga menampik saat kunjungan tersebut Elza memberikan nasihat agar Miryam menjadi justice collaborator (JC).

"Dia (Elza) bilang yang sabar ya nanti akan saya bantu," tukasnya.

Menanggapi kesaksian Miryam yang mengaku tidak pernah menerima uang dalam kasus KTP-e, Sugiharto angkat bicara. Sugiharto menyebut jika Miryam menerima empat kali uang darinya dengan total US$1,2 juta. Pemberian pertama kali Rp1 miliar, kedua US$500.000, pemberian ketiga US$100.000, dan pemberian keempat Rp5 miliar.

"Jadi kalau ditotal US$1,2 juta," kata Sugiharto.

Dalam sidang tersebut, Jaksa KPK juga menghadirkan mantan Wakil Ketua Komisi II yang kini Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, mantan anggota Komisi II Agun Gunanjar, dan mantan Menteri Keuangan yang kini Gubernur BI Agus Martowardojo.

Dalam kesaksiannya, Ganjar mengaku dirinya sempat ditawari mantan anggota Komisi II almarhumah Mustoko Weni sebanyak tiga kali. Namun, Ganjar menolak pemberian tersebut.

"Kalau tidak salah dua-tiga kali setelah rapat (Weni bilang) 'dek-dek ini ada titipan' (saya jawab) 'gak usah' karena itu sudah sikap saya, saya menduga itu duit apa, 'gak usah pe'en (ambil saja)'," jelas Ganjar.

Saat itu, Ganjar tidak mengetahui jika tawaran yang ia terima terkait proyek KTP-e. Ia baru mengetahui jika hal itu berkaitan dengan KTP-e setelah kasus tersebut ramai di media. Saat dikonfrontasikan dengan Miryam pun, Ganjar meminta agar Miryam mengingat-ingat apakah dirinya pernah menerima uang. Namun, kata Ganjar, Miryam menyebut dirinya tidak pernah menerima uang.

"(Kata) Miryam tidak pernah kasih Pak Ganjar, (saya juga minta Miryam) 'mbok ya tolong saya diingatkan mungkin saya lupa' (Miryam jawab) saya tidak pernah terima," tukas Ganjar.

Ia juga membantah pernah menerima uang US$520.000 dalam proyek tersebut sebagaimana dakwaan Jaksa KPK.

Pada 2012, Ganjar juga pernah bertemu dengan Setya Novanto di Bandara Ngurah Rai. Saat itu, sebut Ganjar, Novanto memintanya untuk tidak galak dengan proyek KTP-E yang ia jawab 'tidak ada urusan'. Ia menduga hal itu dikatakan Novanto terkait sikap kritisnya terhadap megaproyek tersebut.

"Kita jumpa dalam situasi yang sama-sama tunggu pesawat kita salaman ngobrol tiba-tiba saya didatangi (Novanto) dan dikatakan jangan galak-galak soal KTP-E," sebutnya.

Adapun Agun juga mengaku tidak pernah mendengar adanya bagi-bagi uang atau menerima US$1,04 juta.

"Tidak pernah (terima uang)," pungkasnya. (OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya