Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
PANSUS RUU Pemilu tengah mempertimbangkan kembali untuk memperbolehkan anggota partai politik menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI). Wacana ini berkembang setelah Pansus RUU Pemilu melakukan studi banding ke Jerman dan Meksiko.
"Ide ini tentu sesuatu yang keliru dan merusak tatanan kemandirian lembaga KPU sebagai penyelenggara pemilu," ujar Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, Rabu (22/3).
Titi mengatakan Pansus RUU Pemilu seharusnya membaca kembali proses perubahan dan penyusunan Pasal 22E ayat 5 UUD NrI 1945 yang menyebut eksplisit salah satu sifat lembaga penyelenggara pemilu adalah “mandiri”. Makna kata mandiri di dalam pasal dan ayat tersebut, sambung Titi, dapat dilacak di dalam risalah perdebatan amandemen UUD NRI 1945 tahun 2001.
Selain itu, kepastian perlunya kemandirian kelembagaan KPU juga sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 81/PUU-/IX/2011 menyebutkan, bahwa untuk menjadi calon anggota KPU dan Bawaslu, harus mundur dari partai politik minimal 5 tahun sebelum yang bersangkutan mendaftar menjadi anggota KPU atau Bawaslu. Sifat Putusan MK yang final dan mengikat tentu harus menjadi perhatian serius bagi Pansus RUU Pemilu.
"Bahwa munculnya kata mandiri dimaksudkan untuk melepaskan KPU dari keanggotaan partai politik," tandasnya.
Ia melanjutkan, hal ini muncul karena pengalaman Pemilu 1999. Penyelenggara Pemilu 1999 yang terdiri dari perwakilan anggota partai politik peserta pemilu ditambah dengan perwakilan pemerintah justru menimbulkan banyak persoalan dalam teknis penyelenggaraan pemilu. Hal yang paling mendasar, kata Titi, adalah soal kepentingan yang berbeda antara kelembagaan KPU dengan perwakilan partai politik yang merangkap menjadi anggota KPU.
Menurutnya, KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu, hal utama yang mesti dilakukan adalah memfasilitasi pemilih secara adil dan demokratis untuk bisa menyalurkan pilihannya kepada orang yang akan menjadi wakil mereka. Sementara partai politik peserta pemilu, dinilainya punya kepentingan untuk memenangkan pemilihan.
"Inilah yang menjadi pengalaman yang tidak baik di dalam penyelenggaraan Pemilu 1999. Anggota KPU yang berasal dari perwakilan partai politik tidak bekerja untuk menyelenggarakan pemilu dengan adil dan demokratis, tetapi sibuk untuk mencari cara bagaimana partai politik mereka bisa menang dalam pemilu," terangnya.
Buktinya, sambung dia, banyak rapat-rapat penentuan kebijakan KPU dalam pelaksanaan Pemilu 1999, dibuat tidak kuorum dan deadlock oleh anggota KPU dari perwakilan partai politik. Menurut Titi, tindakan tersebut dilakukan untuk menghambat kebijakan yang berpotensi merugikan partai politik mereka dalam kontestasi Pemilu 1999.
"Anggota KPU sebagai penyelenggara pemilu mesti bersih dan tidak punya kepentingan politik adalah salah satu mandat besar reformasi. Jika mereka memaksakan memperbolehkan anggota partai politik menjadi anggota KPU, ini jelas salah satu bentuk pembangkangan terhadap putusan pengadilan. Jika ini terjadi, tentu menjadi sebuah pelanggaran serius oleh anggota dewan," tegasnya
Ia berharap Pansus RUU Pemilu fokus menyelesaikan UU tersebut disisa waktu yang sangat singkat. Menurutnya, beberapa hal yang perlu dipikirkan adalah desaian Pemilu Serentak 2019. "Pedoman utama dalam menyusun UU adalah konstitusi dan Putusan MK. Pansus RUU Pemilu tidak boleh keluar dari pakem itu," pungkasnya. (OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved