Kapitalisasi Agama Menghancurkan

Rudy Polycarpus
17/3/2017 09:08
Kapitalisasi Agama Menghancurkan
(Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat (kanan), Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin (tengah) dan Kapolri Tito Karnavian menjadi pembicara pada Kongres Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan---MI/Panca Syurkani)

DEMOKRASI di Indonesia yang belum matang membuka keran bagi masyarakat yang berniat mengentalkan primordialisme. Agama pun dijadikan komoditas politik yang ujung-ujungnya punya dampak menghancurkan.

Dalam Kongres Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang digagas Komnas HAM di Balai Kartini, Jakarta, kemarin (Kamis, 16/3) Kapolri Jenderal Tito Karnavian menguraikan politisasi agama memicu peningkatan konflik bernuansa SARA. Atas nama agama, sekelompok masyarakat bahkan seakan memegang mandat untuk membunuh.

"Politisasi agama itu berdampak menghancurkan. Lihat bom Bali dan di Poso. Menangani masalah ini harus dengan pencegahan lewat dialog serta memperkuat ideologi Pancasila," tandas Kapolri.

Tito mengakui masyarakat Indonesia masih mudah digesek dengan isu-isu agama. Hal itu tampak pada kasus horizontal yang terjadi di sejumlah daerah. Untuk meredamnya, ia menyarankan penguatan keberadaan Forum Kerukunan Umat Beragama.

Agama juga dikapitalisasi untuk memenangi pilkada serentak tahun ini. Menurut Bupati Purwakarta, Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang juga menjadi pembicara, kapitalisasi agama biasanya dilakukan calon yang minim program.

Dedi mengaku berkaca pada pengalamannya ketika menjadi Bupati Purwakarta selama dua periode, yakni 2008-2013 dan 2013-2018. Kala itu, kampanye berbau agama banyak menyerangnya.

"Strategi menabuh isu agama ke politik hanya melahirkan kebencian kepada pihak yang berbeda. Banyak konflik berbau agama justru bukan karena agama, melainkan lantaran untuk merebut kekuasaan. Seharusnya isu agama seperti ini selesai ketika Pancasila lahir," tandas peraih penghargaan kebebasan beragama dan berkeyakinan 2016 dari Komnas HAM itu.

Intoleransi struktural
Pada kesempatan sama, koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM Jayadi Damanik berpendapat maraknya isu agama sebagai komoditas politik juga tampak dalam peraturan di daerah.

Menurut dia, mengadopsi nilai agama tertentu sebagai kebijakan pemerintah tidak sejalan dengan norma HAM karena seharusnya negara melindungi seluruh golongan.

"Kebijakan seperti itu menyebabkan intoleransi struktural. Kebijakan atau perda yang diskriminatif bisa membuat masyarakat intoleran semakin menjadi."

Sejumlah perda yang dimaksud Jayadi antara lain Peraturan Wali Kota Bekasi No 68/2013 tentang Penerapan Kurikulum Muatan Lokal Sejarah dan Budaya Bekasi untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama yang mengesankan pemda menonjolkan agama mayoritas.

Contoh lain ada di Tasikmalaya lewat Perda No 13/2001 dengan pencantuman visi Kabupaten Tasikmalaya yang religius/islami sebagai pusat pertumbuhan di Priangan Timur. Di Cianjur, Jawa Barat, terbit Perda No 3/2006 tentang Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlaqul Karimah.

"Penggunaan tema-tema tertentu dalam peraturan daerah merupakan tindakan mengistimewakan agama tertentu dan mendiskriminasi agama-agama lain," tukasnya.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan pihaknya tengah menyusun RUU tentang Perlindungan Umat Beragama untuk mengatur berbagai hal yang diyakini bisa mencegah terjadinya konflik antarumat beragama. Salah satunya mengatur isi ceramah yang disampaikan di rumah ibadah.(X-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya