Komunitas Syiah Sampang Mulai Bosan Tinggal di Pengungsian

Putra Ananda
16/3/2017 14:03
Komunitas Syiah Sampang Mulai Bosan Tinggal di Pengungsian
(ANTARA)
SEBANYAK 81 kepala keluarga (KK) yang terdiri dari 335 jiwa pengungsi Komunitas Islam Syiah kini mulai jenuh tinggal di tempat pengungsian. Sudah hampir 5 tahun mereka terpaksa mengungsi karena diusir paksa oleh kelompok massa anti-Syiah yang menyerang kampung mereka di Kabupaten Sampang, Agustus 2012 lalu.

"Selama kurun waktu 5 tahun kami menjadi pengunggsi di negeri sendiri, kami belum melihat ada upaya yang serius dari aparat negara, pergantian rejim Susilo Bambang Yudhoyono ke Jokowi, tidak lantas menjadikan nasib kami lebih baik," ujar salah satu pengungsi dari Komunitas Syiah Sampang, Tajul Muluk, Kamis (16/3).

Tajul menceritakan harapan nereka bisa pulang ke kampung halaman sempat muncul ketika Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada Agustus 2014 mengunjungi tempat pengungsian mereka. Saat itu pemerintah menjanjikan akan menyelesaikan konflik horizontal yang terjadi sehingga mereka bisa kembali diterima oleh masyarakat di kampung halaman mereka sendiri.

"Beliau sempat mengatakan bahwa ia optimistis pengungsi bisa pulang. Namun nyatanya hingga kini sama sekali belum terlihat ada upaya yang serius untuk menyelesaikan masalah yang kami hadapi," imbuhnya.

Waktu terus berlalu. Kini Rusun Jemundo tempat para pengungsi itu tinggal, keadaanya mulai memburuk. Kondisi bangunan sudah mulai memprihatinkan. Banyak rembesan air ketika hujan mengguyur lokasi pengungsian. "Setiap saat bisa saja rubuh," tutur Tajul.

Banyak dari para pengungsi yang sudah mulai bertanya-tanya kapan bisa kembali ke kampung halaman mereka untuk bisa hidup normal bersosialisasi dengan warga lain. Sambil menunggu, pemerintah memberikan mereka jatah hidup bulanan sebesar Rp 709.000 yang diberikan rutin tiap bulan.

"Bagi kami ada yang jauh lebih penting dari uang jatah hidup yaitu tentang kepulangan kami ke kampung halaman, kami benar-benar sudah cukup sabar menunggu di rusun, karena selama ini kami berkeyakinan bahwa pemerintah sanggup menyelesaikan masalah kami," paparnya.

Tidak hanya itu, kini para pengungsi juga sudah mulai kehilangan pekerjaan. Selama hidup sebagai pengungsi, mereka menggantungkan hidup sebagai buruh kupas kelapa dengan penghasilan kecil. Namun kini, pekerjaan tersebut sudah dirasa kurang memadai karena banyak para juragan kelapa yang tidak lagi mengirimkan kelapa ke rusun.

"Kebutuhan kami makin banyak, ada 15 anak yang akan lulus SD, 2 anak lulus SMP, dan 6 anak lulus SMA. Kami juga tidak memiliki akses kesehatan yang layak seperti BPJS," keluh Tajul. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya