Tersumbat di MK DKPP Jadi Pelampiasan

Erandhi Hutomo Saputra
11/3/2017 10:00
Tersumbat di MK DKPP Jadi Pelampiasan
(MI/ARYA MANGGALA)

DEWAN Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kebanjiran laporan dari peserta pilkada serentak 2017.

Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie menilai banyaknya laporan itu tidak lepas dari tertutupnya saluran untuk mencari kebenaran dan keadilan di Mahkamah Konstitusi.

Jimly menyebut DKPP telah menerima 167 laporan dari 101 daerah yang melangsungkan pilkada.

Secara persentase, laporan itu melampaui saat Pilkada 2015.

Dua tahun silam, DKPP menerima 174 laporan dari 259 daerah yang menggelar pilkada.

"Laporan di Pilkada 2017 ini melebihi jumlah daerah yang menggelar pilkada," ujarnya di Kantor DKPP Jakarta, kemarin.

Dari laporan itu, KPUD dan jajarannya menjadi pihak yang paling banyak diadukan, yaitu 70,8%, sedangkan Bawaslu dilaporkan 29,2%.

Pengaduan paling banyak terkait persyaratan calon sebanyak 37,74%, lalu sengketa administrasi (16,98%), pungut hitung (13,84%), kampanye (8,18%), daftar pemilih tetap (4,40%), rekapitulasi (1,26%), dan lain-lain (17,61%).

Menurut Jimly, membeludaknya laporan ke DKPP karena saluran untuk mencari kebenaran dan keadilan ke MK tak sepenuhnya mengakomodasi peserta pilkada.

UU No 10/2016 tentang Pilkada Pasal 158 mengatur peserta pilkada dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara ke MK dengan ketentuan ada perbedaan paling banyak 0,5%-2% dari total suara sah. Persentase itu bergantung pada jumlah penduduk.

"Jadi, ke mana mereka mengajukannya? Yang dijadikan sasaran ialah penyelenggara pemilu dan tempatnya di DKPP. DKPP menjadi tempat melampiaskan jengkel, marah, tidak adil itu," tukas Jimly.

Ia berpendapat ambang batas selisih suara sebagai syarat menggugat ke MK perlu dikaji ulang.

"Sebaiknya negara ambil tanggung jawab. Ini tidak sehat untuk negara demokratis dan berkeadilan sosial."

Menutup mata

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyatakan semestinya MK tidak menutup mata pada persoalan yang merusak asas demokrasi atau keadilan dalam penyelenggaraan pilkada.

MK sebaiknya menyampingkan peraturan perundangan apabila hasil yang ditetapkan KPU merupakan sebuah produk yang diwarnai kecurangan.

"Kalau hasil yang ditetapkan KPU itu diperoleh sebagai produk kecurangan, semestinya MK menyampingkan syarat ambang batas yang diatur UU karena salah satu mandat UUD 1945 ialah pilkada harus terlaksana secara demokratis yang di dalamnya meliputi asas jujur dan adil," tutur Titi.

UU No 10/206 Pasal 157 digariskan bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Namun, selama peradilan khusus itu belum terbentuk, perselisihan bisa ditangani MK.

Anggota Komisi II dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan pun menandaskan MK harus bersikap out of the box untuk mengakomodasi peserta pilkada mencari keadilan substansial.

"Tidak mesti kita mengubah UU. Untuk Pilkada 2018 bisa lebih detail diatur dalam PKPU bahwa (sengketa hasil penghitungan suara) tetap bisa menjadi objek MK. Ini tidak semua penyimpangan, hanya yang berdasarkan temuan kecurangan yang masif dari Bawaslu," tandas Arteria. (Tes/Nov/X-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya