Ambang Batas Syarat Gugatan ke MK Picu Pelanggaran Lebih Masif

Tesa Oktiana Surbakti
10/3/2017 23:44
Ambang Batas Syarat Gugatan ke MK Picu Pelanggaran Lebih Masif
(MI/ADAM DWI)

LAPORAN pelanggaran pilkada ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) jumlahnya diketahui membludak. Salah satunya disebabkan oleh adanya ketentuan ambang batas maksimal 2 persen untuk laporan yang dapat ditindaklanjuti di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam UU No 10 tahun 2016 tentang Pilkada mengatur soal ambang batas persentasi gugatan ke MK. Persentasi dihitung dari jumlah penduduk suatu daerah mulai dari 0,5 persen untuk penduduk lebih dari 12 juta, 1 persen untuk penduduk 6-12 juta jiwa, 1,5 persen untuk penduduk 2-6 juta jiwa, dan 2 persen untuk penduduk 2 juta jiwa.

Namun menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini semestinya MK tidak menutup mata pada persoalan yang merusak asas demokrasi atau keadilan dalam penyelenggaran Pilkada. MK sebaiknya mengenyampingkan peraturan perundangan apabila hasil yang ditetapkan KPU merupakan sebuah produk yang diwarnai kecurangan.

"Kalau hasil yang ditetapkan KPU itu diperoleh sebagai produk kecurangan, semestinya MK mengenyampingkan syarat ambang batas maksimal yang diatur dalam UU. Karena salah satu mandat UUD 1945 ialah Pilkada harus terlaksana secara demokratis yang di dalamnya meliputi asas jujur dan adil," tutur Titi di Jakarta, Jum'at (10/3).

Dia menekankan aspek jujur dan adil dalam penyelenggaran Pilkada mengisyaratkan toleransi nol terhadap kecurangan. Apalagi ketika kecurangan yang terjadi cukup masif dan memengaruhi hasil pemilihan.

Pihaknya memandang praktik penyimpangan yang dalam pilkada kian masif. Seolah kongkalikong antara peserta dan penyelenggara pemilu sudah menjadi hal yang lumrah. Titi menegaskan bibit penyimpangan sudah menyebar dari hulu dengan tujuan agar selisih hasil melampui UU, sehingga tidak dapat digulirkan ke MK.

"Pola berpikirnya sudah memakai pendekatan menghambat dari hulu, supaya kasusnya tidak masuk ke MK. Lebih baik curang habis-habisan, yang penting selisih hasilnya melampaui ketentuan UU. Toh kalau penyelenggara berbuat curang lalu dipecat, yang penting calon sudah menang. Pejabat yang dipecat itu juga untung akibat sogok," paparnya.

Dalam menyikapi fenomena yang menyeruak, MK lagi-lagi ditegaskannya tidak boleh terpaku pada regulasi yang pada akhirnya mengabaikan nilai-nilai keadilan atau demokrasi. Setidaknya ada dua opsi yang dapat dikedepankan dalam mengurai polemik tersebut.

Di tengah situasi darurat, menurut Titi, pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Sedangkan opsi lainnya tidak lain ialah MK mengenyampingkan ketentuan dalam UU Pilkada dengan alasan menegakkan nilai-nilai konstitusi.

"Kalau ini tidak dilakukan, yang cari keadilan tidak pernah terwujud. Khususnya bagi daerah-daerah yang sarat selisihnya melampaui ketentuan UU," tandas Titi.(OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya