Rekrutmen Hakim MK via Pansel Terideal

Christian Dior Simbolon
10/3/2017 09:41
Rekrutmen Hakim MK via Pansel Terideal
(ANTARA/Hafidz Mubarak A)

MEKANISME perekrutan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) perlu dibenahi. Pasalnya, saat ini ada tiga lembaga yang sesuai undang-undang boleh merekrut hakim MK, yakni Mahkamah Agung (MA), presiden, dan DPR. Namun, ketiganya memiliki mekanisme yang berbeda dalam merekrut.

Menurut mantan Ketua MK Mahfud MD, perekrutan hakim MK harus bebas dari intervensi dari lembaga negara. Karena itu, lebih tepat jika kewenangan rekrutmen hakim diberikan kepada lembaga panitia seleksi (pansel) ad hoc yang independen.

"Lembaga itu bisa bekerja sewaktu-waktu jika dibutuhkan. Jangan ditentukan setiap lembaga. Jadinya seperti sekarang ini. Presiden tidak boleh sepihak, DPR tidak boleh sepihak, begitu juga MA," ujar Mahfud dalam diskusi publik, di Jakarta, kemarin (Kamis, 9/3).

Perekrutan oleh DPR dilaksanakan secara terbuka menggunakan mekanisme uji kepatutan dan kepatutan. Perekrutan yang dilakukan MA cenderung lebih tertutup. Sementara itu, perekrutan oleh lembaga eksekutif sangat tergantung 'selera' presiden.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalnya, menunjuk langsung Patrialis Akbar lewat keppres. Patrialis kemudian terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk mencari penggantinya, Presiden Joko Widodo membentuk pansel dari eksternal MK.

Mahfud menambahkan, agar mekanisme perekrutan lewat pansel bisa permanen, perlu sedikit revisi di Pasal 22 UU MK ayat 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang MK. "Sekarang kan sudah bagus, sudah terbuka lewat pansel. Meskipun anggotanya masih homogen, lima dari hukum semua. Nanti tinggal direvisi saja pasalnya."

Pakar hukum tata negara Refly Harun menyatakan mekanisme perekrutan sebenarnya bisa disederhanakan jika ada kepercayaan antara lembaga-lembaga yang berwenang mengusulkan hakim MK. Terlebih, sebelumnya pemerintah juga sempat mengeluarkan perppu perekrutan MK. "Sayangnya, itu dibatalkan MK."

Refly juga mengusulkan sejumlah syarat formal untuk diadopsi dalam pola rekrutmen, yakni usia minimal 55 tahun, meningkatkan masa jabatan hakim hingga 9 tahun, dan menolak calon politisi menjadi hakim MK.

"Bukannya alergi terhadap politisi karena kasus Akil atau Patrialis, tetapi kan syarat politisi yang baik itu harus ikut garis parpol, sedangkan hakim MK itu harus negarawan. Artinya, dia harus selesai dengan dirinya sendiri," ujar Refly.

Kemauan politik
Pada kesempatan yang sama, Pemimpin Redaksi Media Indonesia Usman Kansong mengingatkan perekrutan terbuka tidak menjamin hakim bersih dari korupsi. Namun, ia sepakat mekanisme perekrutan harus diseragamkan berlandaskan transparansi dan bersifat partisipatif.

Calon dari partai politik pun tidak bisa dipukul rata. Tidak semua hakim MK yang berasal dari parpol korup. "Tidak ada penyebab tunggal. Akil (Mochtar) dan Patrialis yang tertangkap tangan KPK memang kader parpol, tapi Mahfud MD dan Hamdan Zoelva dianggap berintegritas meskipun kader parpol," jelasnya.

Usman menekankan diperlukan kemauan politik pemangku kebijakan untuk mempertimbangkan rekomendasi-rekomendasi perekrutan. "Atau apakah kita harus menunggu ada hakim konstitusi yang tertangkap lagi?"(P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya