HWRG: Vonis Eks Gafatar Preseden Buruk bagi Hukum Indonesia

RO/MIOL
08/3/2017 13:47
HWRG: Vonis Eks Gafatar Preseden Buruk bagi Hukum Indonesia
(ANTARA)

HUMAN Rights Working Group (HRWG) mengecam putusan pengadilan yang telah memvonis bersalah terhadap 3 orang pimpinan eks-Gafatar atas sangkaan penodaan agama. Putusan ini merupakan preseden buruk untuk kesekian kalinya bagi penegakan hukum di Indonesia mengingat delik penodaan (agama) sendiri merupakan delik karet yang multitafsir dan tidak memenuhi azas legalitas dalam hukum pidana.

Seperti diberitakan kemarin majelis hakim PN Jakarta Timur memutus bersalah eks pimpinan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dan menghukum masing-masing Mahful Muis Tumanurung dan Ahmad Musadeq lima tahun penjara. Sedangkan Andri Cahya divonis hukuman tiga tahun penjara.

Ketua Majelis Hakim Muhammad Sirad dalam pertimbangan putusan menjelaskan, penyebaran paham Millah Abraham oleh tiga eks pimpinan Gafatar itu melenceng dari ajaran agama Islam. Paham tersebut dianggap sesat oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Menurut Muhammad Hafiz, Direktur Eksekutif HRWG, putusan ini mencerminkan ketidakadilan, salah satu buktinya adalah pengabaian pembuktian oleh kuasa hukum tersangka, keterangan saksi maupun keterangan ahli.

Pengabaian ini menunjukkan bahwa majelis hakim tidak independen dan fair. “Pola semacam ini terus terjadi di berbagai kasus kebebasan beragama dan menyangkut kelompok minoritas.

Untuk itu, HRWG mendesak Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Hakim Mahkamah Agung harus memberikan perhatian terhadap pola semacam ini agar ketidakadilan tidak terus berlanjut, di antaranya dengan evaluasi dan pemberian sanksi terhadap Majelia Hakim yang tidak fair atau parsial dalam memproses perkara tersebut.

Selain itu, HWRG mendesak agar pemerintah konsisten dengan langkah dan pendekatan yang telah diambil sebelumnya, di antaranya dengan SKB Eks Gafatar yang telah dikeluarkan. “Kita berada pada jalur penegakan hukum yang membingungkan dan ambigu, di satu sisi SKB dikeluarkan oleh pemerintah, tapi di sisi yang lain proses pidana juga dilakukan," ujar Hafiz.

Hafiz menegaskan bahwa berfikir dan berkeyakinan itu kebebasan mutlak yang tidak bisa dibatasi, sebagaimana diatur dalam UUD Pasal 28I dan UU HAM Pasal 4. "Negara harusnya menghormati hak itu, bukan mengintervensi, apalagi dengan menggunakan sudut pandang agama tertentu," imbuhnya.

Menurut Hafiz, bila memang permasalahannya adalah dalam penyebaran, maka pendekatan yang harus diutamakan adalah persuasif dan dialog yang setara, bukan pidana. “Sah-sah saja negara membatasi ekspresi keagamaan menurut HAM, meskipun tetap harus mengikuti prinsip pembatasan yang sah. Kalau keyakinannya dipidana, hal ini semakin menguatkan sikap negara yang membatasi hak beragama paling dalam setiap manusia.”

Penegak hukum dan pemerintah, ujar Hafiz, tidak belajar dengan aksi saling lapor penodaan agama yang saat ini masih berlangsung, malah terjebak pada bias hukum yang tersimpan di dalam Pasal 156a. Bila tidak tegas untuk meninggalkan penerapan pasal ini, sampai kapanpun negara akan terus terjebak pada penegakan hukum yang imparsial.

Seharusnya, negara tegas menolak untuk memproses kasus-kasus yang dikenakan dengan pasal penodaan ini agar tidak terjebak pada arus populis yang memanfaatkan pasal tersebut untuk menekan kelompok yang lemah dan minoritas.

Dalam pada itu, HRWG mengkritik tindakan negara yang sama sekali tidak memperhatikan hak-hak eks Gafatar yang telah dirampas secara sewenang-wenang.

“Kita tahu, ribuan orang terusir dari Menpawah, Kalbar, beberapa bulan lalu. Kita tahu pula ribuan orang kehilangan tempat tinggal, tanah, dan kekayaannya. Tapi kita tahu juga sama-sama bahwa negara sama sekali tidak memberikan pemulihan, ganti rugi, atau kompensasi, termasuk hak ekonomi, sosial dan budaya, kepada eks-Gafatar yang menjadi korban pengusiran”, demikian Hafiz.

Menurut Hafiz, negara harus memulihkan hak-hak eks Gafatar yang telah terusir dari Menpawah, Kalbar, dengan mengganti aset yang telah hilang atau dirampas, pemulihan hak ekononi, sosial, dan psikologis, serta menjamin hak-hak kelompok ini untuk menjalankan kehidupannya sesuai nilai dan norma yang mereka anut.(OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya