Kejaksaan Tegaskan Penyidikan Kasus Dahlan Sesuai Koridor Hukum

Golda Eksa
06/3/2017 23:00
Kejaksaan Tegaskan Penyidikan Kasus Dahlan Sesuai Koridor Hukum
(ANTARA/Rony Muharrman)
KEJAKSAAN Agung menampik pernyataan yang menyebut penetapan Dahlan Iskan sebagai tersangka kasus pengadaan mobil listrik hanya merujuk surat keputusan kasasi Mahkamah Agung dengan terpidana Direktur PT Sarimas Ahmadi Pratama, Dasep Ahmadi.

Sanggahan yang disampaikan jajaran Korps Adhyaksa itu terkait pernyataan Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum Dahlan yang sebelumnya dituangkan di dalam materi gugatan pada sidang praperadilan di Pengadilan Jakarta Selatan, Senin (6/3).

"Padahal jauh sebelumnya kejaksaan sudah menerbitkan surat perintah penyidikan (Sprindik) umum pada 30 Juni 2016," ujar Kasubdit Penyidikan Tindak Pidana Korupsi pada JAM Pidsus, Yulianto.

Menurutnya, proses penyidikan umum itu sekaligus mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi, yakni seseorang sebelum status hukumnya ditingkatkan menjadi tersangka maka wajib diperiksa dulu sebagai saksi.

Apalagi kala itu Dahlan juga telah diminta keterangan sebagai saksi di Surabaya. Bahkan, kejaksaan pun ikut memeriksa 11 saksi lain, termasuk ahli keuangan negara. "Kami juga punya hasil audit BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) tentang kerugian keuangan negara. Atas dasar itulah jaksa punya alat bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka."

Sedangkan petikan putusan kasasi MA atas nama Dasep Ahmadi, lanjut dia, hanya dianggap sebagai pelengkap atau penguat sejumlah alat bukti yang sudah dipegang jaksa penyidik.

Selain itu, terang dia, kejaksaan pun siap menjawab pernyataan Yusril yang menyebut adanya peraturan hukum baru, yaitu delik korupsi adalah delik materiil, seperti yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016.

SEMA 4/2016 menjelaskan bahwa hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berwenang menghitung kerugian negara. Namun, tambah Yulianto, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 juga ada penjelasan terkait upaya pembuktian korupsi yang boleh menghitung ialah BPK, BPKP, akuntan publik, dan bahkan penyidik sendiri.

"SEMA itu berlaku mengikat ke dalam intern MA, namun kami sudah koordinasi dengan BPK terkait dengan SEMA itu," katanya.

Sebagai contoh, imbuh dia, pada 2016 kejaksaan telah melakukan penyidikan sebanyak 1.528 perkara dan seluruhnya juga sudah ditingkatkan ke tahap penuntutan. Selain itu, ada pula 901 perkara dari Bareskrim Polri yang masih dalam proses penanganan.

Melihat banyaknya jumlah perkara itu, maka sangat mustahil jika hanya BPK yang dibolehkan menghitung kerugian negara untuk ribuan kasus tersebut, apalagi jika kaitannya dengan keterbatasan personel dan waktu.(OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya