Kawal Terus Proses Demokrasi Indonesia

Erandhi Hutomo Saputra
14/2/2017 05:00
Kawal Terus Proses Demokrasi Indonesia
(ANTARA)

PERISTIWA kekerasan yang menimpa sejumlah jurnalis ketika bertugas meliput aksi damai 112 di Jakarta Pusat, akhir pekan lalu, merupakan sebuah anomali demokrasi.

Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Muradi, ketika dihubungi Media Indonesia, kemarin, mengatakan anomali seperti itu tidak hanya terjadi di Jakarta.

Amerika Serikat dan beberapa negara lain juga mengalami hal serupa.

"Untuk demokrasi, secara keseluruhan matang. Hanya, karakternya belum sampai pada tahap kematangan seperti yang kita bayangkan. Makanya, kita kawal terus bahwa demokrasi harus dalam posisi yang kemudian dewasa," ujarnya.

Kekerasan yang dialami jurnalis, lanjut dia, merupakan bagian dari propaganda atau black campaign.

Media dan awak media sebenarnya tidak salah karena berada pada posisi yang mengedepankan etika jurnalistik dan bisa dipertanggungjawabkan.

Menurut Muradi, persoalan yang berujung pada penganiayaan muncul karena adanya perbedaan perspektif.

Itu disebabkan massa menilai beberapa media yang mengumandangkan NKRI, pluralisme, dan kebinekaan malah dianggap anti terhadap mereka.

"Hal ini karena ada kasus bela Islam dan ulama yang dianggap punya otoritas sendiri dan kemudian beberapa media itu dianggap menjadi ancaman bagi mereka. Ini merupakan bagian dari demokrasi dan akan kita lihat kematangan itu sampai di mana," ujar dia.

Tegakkan hukum

Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani menyebut penegakan hukum oleh kepolisian terhadap pelaku kekerasan merupakan jalan keluar jangka pendek guna memberikan efek jera.

Pelaku kekerasan lainnya akan berpikir ulang untuk melakukan hal serupa.

Selama ini, kata Ismail, penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan termasuk pelaku kekerasan terhadap jurnalis tidak dilakukan secara serius.

Kepolisian justru terkesan permisif, apalagi ketika pelaku kekerasan adalah anggota sendiri.

"Yang utama edukasi publik (untuk menyadarkan pentingnya menghargai demokrasi dan HAM), tapi itu tugas yang panjang dan berat, yang mudah memberikan efek jera itu penegakan hukum karena selama ini tidak ada niatan (serius)," ujar Ismail.

Saat dihubungi terpisah, Koordinator Peneliti Imparsial Ardi Manto menyatakan kekerasan terhadap jurnalis dan profesi lainnya tidak bisa dibenarkan apa pun alasannya, oleh kelompok mana pun, dan atas dasar sentimen apa pun karena itu pelanggaran.

Jika telah terjadi kekerasan, kepolisian wajib mengusut kasus tersebut sampai menangkap pelakunya dan memastikan proses hukum berjalan dengan benar.

Masyarakat, kata Ardi, belum bisa menerima perbedaan pendapat serta pentingnya kebebasan pers dan demokrasi.

"Kita menjunjung tinggi hak orang untuk kebebasan berpendapat, tapi di sisi lain harus menaati prinsip antikekerasan," imbuhnya.

Kepala Divisi Riset Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Asep Komarudin mengatakan kelompok masyarakat yang melakukan aksi kekerasan terhadap jurnalis telah merusak nilai-nilai demokrasi.

Kebebasan berekspresi harusnya dibarengi dengan sikap menghargai perbedaan opini.

"Mereka tidak mengerti dan justru merusak nilai-nilai demokrasi yang mereka nikmati," ujarnya. (Gol/Deo/P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya