Masa Tenang Rawan Politik Uang

Christian Dior Simbolon
12/2/2017 21:50
Masa Tenang Rawan Politik Uang
(Ilustrasi MI)

POLITIK uang diyakini menjadi keniscayaan mewarnai Pilkada Serentak 2017. Seperti lazimnya di pilkada-pilkada sebelumnya, menurut Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow, masa tenang bakal diefektifkan paslon kepala daerah dan tim sukses untuk menggelar serangan fajar.

"Berdasarkan pengalaman, yang paling rawan politik uang itu di masa tenang. Apalagi, dari hasil-hasil survei jelang hari H (pencoblosan) peta (elektabilitas) sudah relatif kelihatan. Paslon dan timses bisa lihat apakah tanggal 15 suara mereka akan naik atau tidak," ujar Jeirry dalam sebuah diskusi di Jakarta.

Dijelaskan Jeirry, politik uang tidak hanya potensial dilancarkan paslon yang elektabilitasnya 'tiarap' saja. Paslon dengan elektabilitas ciamik juga potensial melakukan politik uang karena khawatir dikalahkan oleh pesaingnya yang menggelar cara-cara kotor demi memenangkan kontestasi.

"Begitu juga para calon tunggal. Sekarang ini ada kekhawatiran dari paslon tunggal bakal kalah kampanye kotak kosong. Tak tertutup kemungkinan mereka juga gelar politik uang meskipun tanpa pesaing," cetusnya.

Karena itu, Jeirry meminta, Bawaslu, KPU dan Panwaslu aktif mengawasi paslon yang potensial melancarkan serangan fajar. Publik pun diminta tidak mencoblos para paslon yang menggelar politik uang.

"Pelaku politik uang itu adalah penjahat dan sebaiknya tidak dipilih. Politik uang di pilkada itu adalah mata rantai korupsi. Salah satu cara menghentikannya adalah dengan dengan tidak memilih mereka," ujarnya.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menambahkan, ada sejumlah faktor yang memengaruhi tingginya potensi politik uang, yakni kondisi cuaca, geografis dan tingkat persaingan antar paslon.

Politik uang, menurut dia, terutama lazim terjadi di daerah-daerah yang jumlah pasangan calon banyak dan tingkat persaingan antar calonnya tinggi. Di Aceh misalnya, politik uang disinyalir marak karena jumlah pemainnya banyak.

"Ada delapan hingga sembilan paslon di satu daerah. Sedangkan di DKI, politik uang didorong karena tingkat persaingan tinggi. Seolah kalau kalah, selesai semuanya. Adapun di Papua, potensi tidak datang dari persaingan tapi karena wilayah geografis yang sulit yang memungkinkan politik transaksional," ujarnya.

Tak hanya itu, politik uang juga bisa disebabkan karena kondisi cuaca yang memungkinkan pemilih malas datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Hal ini misalnya bisa terjadi di daerah-daerah di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan DKI Jakarta.

"Misalnya karena hujan atau banjir. Timses berlomba-lomba meningkatkan partisipasi dengan iming-iming uang. Menurut catatan kami (JPPR), ini juga ada pengaruhnya," jelas Masykurudin.

Hal lain yang memengaruhi ialah permintaan publik (demand). Menurut Masykurudin, tidak bisa dimungkiri bahwa publik masih berharap mendapatkan bonus dari 'kerja kerasnya' mencoblos di TPS. "Dalam konteks ini, KPU harus mewanti-wanti ke masyarakat bahwa yang dihukum itu bukan hanya yang memberi, tapi juga yang menerima," tandasnya.(OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya