Badai Informasi Bohong Pasti Berlalu

Astri Novaria
09/2/2017 05:00
Badai Informasi Bohong Pasti Berlalu
(ANTARA/MOHAMMAD AYUDHA)

PELAKSANAAN pilkada serentak menimbulkan efek samping yang cukup meresahkan masyarakat.

Informasi bergerak liar dan cepat tersebar meski informasi itu merupakan berita bohong alias hoax.

Sekretaris Fraksi PAN Yandri Susanto berharap semua pihak, termasuk pimpinan partai politik, tidak ikut memanas-manasi situasi.

"Kalau ada yang menyebarkan berita bohong atau hoax dan ada yang memanas-manasi situasi, dikhawatirkan dapat terjadi situasi yang tidak diinginkan dan dapat mengganggu keamanan nasional. Jangan sampai hanya karena pilgub, NKRI menjadi taruhan," ujar Yandri di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Yandri mengingatkan situasi yang kondusif menjadi syarat utama agar pilkada di seluruh Indonesia dapat berjalan lancar tanpa gesekan di tengah masyarakat.

Senada, Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nadjamuddin Ramly meyakini kondisi politik yang panas disertai informasi bohong (hoax) hanya bersifat temporer.

Masyarakat pun diimbau lebih jeli menyikapi persoalan agar nantinya tidak gampang terhasut.

"Saya kira karena viral-viral ini kita tidak menegasikan mana yang palsu dan mana yang benar. Kita ambil lucu-lucuan saja dan tidak perlu diseriusi," ujar Nadjamuddin di sela-sela coffee morning di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Polhukam, Jakarta, kemarin.

Momentum pilkada merupakan masa paling tinggi dalam penyebaran berita bohong.

Karakter masyarakat Indonesia turut memberi andil.

Menurut Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Deddy Mulyana, karakter asli masyarakat Indonesia salah satunya tidak terbiasa berbeda pendapat atau berdemokrasi secara sehat.

Akibatnya, bisa dengan mudahnya menelan berita palsu yang disebarkan dengan sengaja.

"Sejak dulu orang Indonesia suka berkumpul dan bercerita. Sayangnya, apa yang dibicarakan belum tentu benar. Budaya kolektivisme ini tidak diiringi dengan kemampuan mengolah data. Kita tidak terbiasa mencatat dan menyimpan data sehingga sering berbicara tanpa data," tuturnya.

Menurut mantan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran itu, masyarakat Indonesia cenderung senang membahas aspek-aspek yang berkaitan dengan keke-rasan, sensualitas, drama, intrik, dan misteri.

Politik adalah bidang yang memuat aspek-aspek tersebut.

Tidak mengherankan bila berita hoax sering sekali timbul pada tema politik.

"Khususnya saat terjadi perebutan kekuasaan yang menjatuhkan lawan seperti pilkada," tutur Deddy.

Deddy menambahkan, rendahnya kecerdasan literasi masyarakat Indonesia juga menjadi faktor penyebab hoax mudah dikonsumsi.

Penyeimbang

Country General Manager Isentia, Luciana Budiman, dalam siaran persnya mengemukakan hasil pemantauan penyebaran isu-isu hoax dalam tiga bulan terakhir di media sosial.

Media konvensional berperan sebagai penyeimbang media sosial.

Menurut Luciana, berdasarkan pemantauan, media konvensional cenderung memilih bersikap netral dalam memberitakan hal yang belum diketahui validitasnya.

Adapun di media sosial sebagian netizen telah mengambil sentimen baik positif maupun negatif.

Sikap netral merupakan keunggulan media konvensional.

Dengan begitu, media konvensional mampu memberikan edukasi bagi masyarakat untuk tidak turut membantu menyebarkan berita-berita hoax.

"Tentunya proses edukasi ini butuh waktu sehingga nantinya masyarakat kita sudah paham dalam membedakan berita hoax dengan berita bermutu," pungkas Luciana. (Gol/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya