Media Massa Diminta Tolak Gerakan Intoleran

Arnoldus Dhae
08/2/2017 10:37
Media Massa Diminta Tolak Gerakan Intoleran
(MI/Furqon Ulya Himawan)

PARA sarjana yang tergabung dalam Akademisi Muda Bali (AMUBA) menyerukan agar media mainstream mulai saat ini mengurangi dan bahkan menolak untuk menyiarkan gerakan intoleran di Tanah Air.

Selain itu media mainstream diminta tidak menyiarkan kegiatan ormas yang melakukan gerakan intoleran di Indonesia. Koordinator AMUBA Bali Sadwika Salain menjelaskan, AMUBA menyerukan kepada media di Indonesia untuk tidak memberikan panggung atau ruang pemberitaan pada gerakan-gerakan intoleransi, termasuk berbagai aktifitas ormas intoleran.

Pemberitaan terhadap gerakan dan penyataan intoleran hanya akan berdampak buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Selain itu pemberitaan terhadap gerakan dan pernyataan intoleran akan menimbulkan polemik dan keresahan di masyarakat.

"Media mestinya tidak memberitakan itu, karena publik akan teredukasi soal intoleran. Ini merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara," ujarnya di Denpasar, Rabu (8/3).

Ia meminta media massa untuk menyajikan pemberitaan yang berimbang, akurat, dan bertanggungjawab. Tak bisa dipungkiri, maraknya kasus intoleransi dan SARA tidak terlepas dari peran media massa dalam membentuk dan memengaruhi opini publik.
Walaupun pemilihan tema pemberitaan, termasuk tema intoleransi SARA adalah hak media yang dijamin oleh undang-undang yang patut kita hargai tetapi sangat tidak dianjurkan jika kontennya justru merugikan publik.

Menurut Sadwika, pemberitaan tentang kasus intoleransi SARA yang berlebihan juga dapat berpengaruh buruk pada psikologis masyarakat (utamanya remaja dan anak-anak). Pengaruh buruk tersebut berupa ketidakpekaan atau bahkan permakluman atas tindakan kekerasan atas dasar SARA sebagai sebuah kelaziman dalam demokrasi.

Sadwika mengingatkan bahwa fenomena radikalisme di Tanah Air semakin mengkhawatirkan. Penyebaran gerakan ini tidak hanya telah menjangkau kehidupan sosial masyarakat tetapi juga menyusup pada infrastruktur formal seperti institusi pendidikan hingga ke lembaga-lembaga negara.

Sadwika menyebutkan bukti keberadaan faham radikal ini di Tanah Air terlihat dari maraknya kasus intoleransi terkait suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Dalam dua belas tahun terakhir, tak terhitung jumlah tindak anarkisme terkait SARA yang telah menimbulkan korban, baik fisik maupun non fisik, tidak hanya terjadi pada ruang publik namun masuk hingga ke ruang-ruang kelas.(OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya