KPUD Lebih Takut DKPP

Astri Novaria
06/2/2017 07:43
KPUD Lebih Takut DKPP
(Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie---ANTARA/Muhammad Adimaja)

SEJUMLAH norma berkaitan dengan penyelanggaraan pemilu bakal mengalami perubahan dalam UU Pemilu yang baru. Salah satunya tentang kedudukan dan fungsi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai kewenangan DKPP terlampau melebihi batas. Untuk itu, perlu pendekatan baru agar penyelenggaraan pemilu kembali ke hierarki kelembagaannya, yakni KPU dan Bawaslu.

"Mestinya perlu ada kelembagaan kontrol secara berjenjang. Jadi ke depan saya setuju apabila DKPP direkonstruksi menjadi dewan kehormatan etik KPU dan Bawaslu saja," ujar Titi saat dihubungi, akhir pekan lalu.

Menurutnya, jika ada dugaan pelanggaran etik di jajaran KPU ataupun Bawaslu, yang melakukan pengawasan etik ialah penyelenggara pemilu setingkat di atasnya.

"Seandainya tidak ditindaklanjuti dan diduga ada keberpihakan, bisa dilaporkan ke penyelenggara pemilu setingkat di atasnya lagi. Keuntungan jika ini berjalan, KPU dan Bawaslu tetap menjadi lembaga yang mandiri. Pengawasan etiknya juga berfungsi," paparnya.

Untuk menjamin berjalannya proses pengawasan secara akuntabel dan transparan, imbuhnya, perlu dibuatkan aturan dalam UU perihal jaminan proses pelanggaran etika yang harus berlangsung secara terbuka.

Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie mendukung bila memang ada usul untuk menegakkan kode etik kepada penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, dilakukan secara berjenjang. “Boleh juga itu (lebih baik berjenjang pemeriksaannya). Lebih ringan,” kata Jimly saat dihubungi, kemarin (Minggu, 5/2).

Diakuinya, memang selama ini DKPP menerima banyak laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara pemilu mulai anggota KPU pusat sampai PPS.

Jimly pun mengingatkan bahwa perlu dicari akar masalahnya di mana. Setelah itu, baru mencari solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut.

“Lihat dulu praktiknya bagaimana, dicek di mana sih sumber kecelakaan paling banyak, pelanggaran paling banyak di mana. Misalnya, pelanggaran penghitungan suara, kecurangan, money politics, di mana itu paling banyak? Lalu, menyelesaikannya bagaimana,” jelasnya.

Kontraproduktif
Berkaitan dengan hasil seleksi calon komisioner KPU dan Bawaslu, Titi menganggap belum ada alasan yang kuat untuk menunda proses seleksi demi menyesuaikan dengan perampungan RUU Pemilu. Proses seleksi itu dasar hukumnya jelas dan sah, yakni berdasarkan UU Pemilu yang ada saat ini.

"Kan kalau sudah terpilih tinggal menyesuaikan saja dengan ketentuan yang baru. Kalau menunggu, justru kontraproduktif. RUU Pemilu saja selesainya kapan belum jelas. Padahal, kontrak komisioner KPU hanya sampai April 2017," jelasnya.

Lebih jauh, kata Titi, UU Pemilu tidak mengenal perpanjangan masa jabatan. Perpanjangan harus lewat perppu. "Ini tidak gampang, apalagi pandangan fraksi berbeda-beda," cetusnya.(P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya