NU dan Muhammadiyah, Mana Janjimu?

Ade Alawi
03/1/2017 09:08
NU dan Muhammadiyah, Mana Janjimu?
(Ketua KPK Agus Rahardjo---MI/Rommy Pujianto)

PENAMPILANNYA sederhana, bicaranya kalem, dan tidak pelit senyum. Itulah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo. Dalam sebuah kunjungan ke kantor Media Group di Kedoya tahun lalu, ketua lembaga antirasywah periode 2015-2019 tersebut merasa risau dengan peningkatan kasus korupsi di Indonesia. Padahal, KPK gencar memerangi korupsi.

Jumlah penyelenggara negara yang ditangkap lembaga itu seolah tak pernah habis. Ditangkap satu, tumbuh seribu. Para koruptor seakan-akan bergiliran ditangkap KPK. Mereka seperti menunggu apesnya saja dicokok penyidik Novel Baswedan dkk.

Agus berharap masyarakat membantu memberantas korupsi. Organisasi-organisasi masyarakat bernapaskan Islam bahkan semestinya bisa menjadi ujung tombak mencegah korupsi.

"Tenaga penyidik kami terbatas, penjara pun bisa penuh. Jadi, kami mengharap keterlibatan elemen masyarakat, seperti NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah, ikut menyadarkan umat memerangi korupsi," tutur mantan kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) itu.

Agus mendambakan tumbuh budaya antikorupsi di masyarakat sehingga pihaknya tidak seperti pemadam kebakaran. Saya pun mengingatkan kepada Agus bahwa KPK harus menagih janji kedua ormas Islam terbesar yang juga pernah membuat deklarasi antikorupsi.

Bahkan, Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU pada 25-28 Juli 2002 memutuskan pejabat yang korupsi yang meninggal dunia tidak wajib disalatkan.

"Iya, saya pernah dengar sikap Rasulullah dalam Perang Khaibar soal itu," tutur Agus yang pengagum Sutan Sjahrir ini.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud disebutkan Nabi Muhammad SAW enggan menyalatkan jenazah pelaku ghulul (korupsi) karena telah mencuri harta pampasan perang.

Pertemuan dengan Agus berlanjut dengan saling tukar nomor telepon. Ketika ramai kasus tertangkapnya mantan Ketua DPD Irman Gusman, komunikasi berlanjut. "Bagaimana mencegah para pemburu rente, Pak? " kata saya via Whatsapp.

"Perubahan sistem dan layanan publik di semua sektor mencegah terjadinya pemburu rente. Sistem harus dibuat transparan dan akuntabel. Rakyat dapat mengakses untuk memberi masukan, mengkritik, melapor, dan mengawasi layanan tersebut," jawab Agus.

Perubahan memang harus sistemik. Pemberantasan korupsi tidak bisa hanya bekerja di hilir. Akhirulkalam, berkomunikasi dengan pucuk pimpinan KPK tersebut menyenangkan dan mencerahkan.Bravo Pak Agus. Ganyang koruptor!(P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya