Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
OPERASI tangkap tangan terhadap Bupati Klaten Sri Hartini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin menunjukkan borok dari sistem pilkada di Indonesia, yakni langgengnya dinasti politik.
Sri menjadi contoh kesekian kali kasus korupsi yang bermula akibat berlanjutnya kekuasaan secara turun-temurun.
Tidak bisa ditampik jika Mahkamah Konstitusi turut andil dalam melanggengkan dinasti politik dengan putusannya yang membatalkan pelarangan politik dinasti di Pasal 7 huruf r UU No.8/2015 tentang Pilkada yang diketukpalukan 8 Juli 2015.
"Putusan MK yang membatalkan pasal politik dinasti adalah kekeliruan yang amat besar yang pernah dilakukan MK. Dampaknya semakin nyata hari ini seperti kasus di Klaten politik dinasti menjadi pemicu munculnya kasus korupsi," ujar Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz saat dihubungi di Jakarta, kemarin.
Karena itu, Donal berpendapat terdapat dua kunci untuk memangkas berlanjutnya dinasti politik, yaitu melalui peran parpol dan pemilih.
Parpol mesti memilih kader-kader yang berkualitas yang bukan berasal dari dinasti politik untuk maju dalam konstestasi Pilkada.
Pemilih pun harus cerdas dalam memilih dengan tidak memilih calon yang berasal dari dinasti politik.
"Pemilih yang paling bertanggung jawab untuk memangkas dinasti politik, kewenangan pemilu itu di pemilih. Dinasti politik tidak akan tumbuh dan terbonsai kalau pemilih tidak memilih kelompok dan keluarga yang terafiliasi dinasti politik. Dia akan berkuasa di parpol, tapi tidak di rezim pemerintahan," jelas Donal.
Donal menjelaskan selama ini kekuatan materi menjadi kekuatan kepala daerah yang melakukan dinasti politik karena kepala daerah tersebut harus memiliki basis dukungan besar melalui ormas-ormas baik ormas kemasyarakatan, budaya, maupun keagamaan. Untuk menghidupi kekuatan massa itu, dibutuhkan biaya yang tidak besar.
"Itu dilakukan untuk memelihara kekuasaan dan itu biayanya besar sekali. Kalau itu diakumulasikan, memicu orang untuk mengeluarkan biaya lebih dan memicu kasus korupsi muncul," pungkas Donal.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menuturkan politik dinasti juga memengaruhi perilaku pejabat daerah.
Pejabat yang potensial merapat dan memberi suap kepada satu tokoh yang dianggap memiliki kedekatan.
Hal tersebut dilakukan karena ketokohan dalam politik dinasti masih mencengkeram kuat proses seleksi jabatan.
"Ketika seseorang itu memiliki kompetensi, tapi ia jauh dari keluarga dinasti, mau tak mau ia menyuap atau pasrah dilengserkan," Robert menegaskan.
Tidak konsisten
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
Ia meminta masyarakat mengambil hikmah dari pengungkapan suap di Klaten yang kental akibat monopoli kekuasaan dan dinasti politik.
Jangan mudah terpengaruh oleh citra dan emosi dalam memberikan hak suara dalam pilkada.
Menurut Saut, masyarakat harus mampu memberikan hak suaranya bagi calon pemimpin yang berpeluang besar bebas dari nepotisme, kolusi, dan korupsi.
"Kita di Indonesia sering tidak konsisten dengan standar ganda yang kita buat dan kita langgar sendiri. Namun, harap diingat, KPK tidak 24 jam melototin pekerja pemerintah. Jadi, kembali lagi integritas yang rapuh ini bagaimana menuntaskannya, mencegah yang baik itu menindak," tukasnya
Juru bicara KPK Febri Diansyah menambahkan, dinasti politik itu memang menjadi kekhawatiran sejumlah pihak. Risiko-risiko korupsi lebih terbuka terjadi.
KPK pun telah menangani sejumlah kasus korupsi di daerah dengan karakter politik dinasti di sana terjadi.
"Namun, memang MK sudah membatalkan pasal tersebut. Dengan segala kontroversi dan perbedaan pandangan yang ada, sekarang kita menghimbau dulu ke masyarakat agar hati-hati dalam memilih pemimpin," ujar Febri. (P-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved