Mantan Ketua MUI Jenguk Tersangka Korupsi di Bakamla

MI
30/12/2016 09:31
Mantan Ketua MUI Jenguk Tersangka Korupsi di Bakamla
(Fahmi Darmawansyah---MI/M IRFAN)

MANTAN Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menjenguk tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan suap terkait pengadaan alat monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla) Fahmi Darmawansyah.

"Saya datang untuk meminta izin kepada KPK untuk mengunjungi dua sahabat saya yang ditahan, yaitu Irman Gusman dan Fahmi Darmawansyah. Saya ingin memberikan dukungan morel agar mereka sabar, tabah dan tawakal menghadapi musibah ini," kata Din seusai membesuk keduanya di gedung KPK Jakarta, kemarin (Kamis, 29/12).

Din yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pertimbangan MUI mengakui bahwa Fahmi ialah bendahara MUI periode 015-2020 seperti yang tercantum dalam laman elektronik MUI.

"Memang (Fahmi) ikut bendahara, tapi tidak pernah aktif. Sesungguhnya dia sendiri tidak bersedia. Tapi di MUI, dulu, beberapa pengusaha muslim diajak. Dia tidak pernah ikut rapat. Jadi sebenernya nonaktif dan saya pikir, dia juga sudah mengundurkan diri secara formal," tambah Din.

Kasus yang menjerat Fahmi bermula dari operasi tangkap tangan KPK pada Rabu (14/12) terhadap Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla merangkap Kuasa Pengguna Anggaran Eko Susilo Hadi dan tiga pegawai PT Melati Technofo Indonesia (MTI) Hardy Stefanus, Muhammad Adami Okta dan Danang Sri Radityo.

Eko diduga menerima Rp2 miliar sebagai bagian dari Rp15 miliar commitment fee, yaitu 7,5% dari total anggaran alat monitoring satelit senilai Rp200 miliar.

Namun, KPK baru menetapkan Eko sebagai tersangka penerima suap dan Hardy, Muhammad Adami Okta, serta Fahmi sebagai tersangka pemberi suap, sedangkan Danang hanya berstatus sebagai saksi.

Menurut Din, Fahmi juga bukanlah Dirut PT Melati Technofo Indonesia (MTI) sebagai pemenang tender, melainkan hanya berniat membantu perusahaan tersebut dalam permodalan.

Menurut jubir KPK Febri Diansyah, Fahmi ialah Direktur Utama PT Merial Esa. PT Merial Esa pada 2007 pernah mengimpor 35 unit pikap dari Thailand senilai Rp9,9 miliar selaku perwakilan Rahal International Pte Ltd dari Singapura.

Namun, dalam dokumen impor justru tercantum ambulans Isuzu OZ 4x4, sedangkan barang yang diterima ternyata mobil bak terbuka jenis SUV 4x4 Isuzu D-Max.

Selain ketidaksesuaian antara barang yang diterima dan dokumen impor, kasus ini juga ditengarai adanya keterlibatan kerabat mantan pejabat di TNI-AD.(Cah/Ant/P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya