Kelas Menengah Penyebar Isu

Arif Hulwan
30/12/2016 08:49
Kelas Menengah Penyebar Isu
(Sumber: SMRC/LSPP)

SENTIMEN anti-Tionghoa/Tiongkok yang banyak menyebar, khususnya di dunia maya, bukanlah cerminan pandangan masyarakat sesungguhnya. Itu lebih disebabkan isu yang ditiupkan elite untuk kepentingan politik. Kelas menengah punya peran jadi penyebar isu.

Saiful Mujani, pendiri lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), mengungkapkan, dalam 15 tahun terakhir pihaknya menemukan sentimen anti-Tionghoa/Tiongkok yang konsisten di masyarakat sangat kecil. Sentimen itu muncul di momentum politik tertentu, seperti pilkada.

"Ada hujan ada angin, pokoknya segitu saja (persentase sentimennya), tidak signifikan. Kalau dalam waktu tertentu meningkat, berarti sumbernya bukan di tingkat massa. Namun, kelompok-kelompok tertentu yang diakomodasi oleh media," jelas Saiful, di gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, kemarin (Kamis, 29/12).

Dalam survei November 2016, ketidaksukaan terbesar ditujukan ke Islamic State dan LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender). Komunis dan Yahudi menempati peringkat ke-3 dan 4, disusul kelompok Kristen serta kelompok Front Pembela Islam.

Saiful menganalisis, kesan menguatnya gerakan sosial anti-Tionghoa/Tiongkok dan anti-Kristen dapat dilihat dari tiga faktor. Pertama, kesempatan politik. Kontestasi Pilkada 2017 yang membutuhkan dukungan massa disebutnya sudah dimanfaatkan untuk mendapat suara sebanyak-banyaknya.

Kedua, mobilisasi struktur. FPI, yang sejak lama sudah anti-Basuki Tjahaja Purnama, petahana Gubernur DKI Jakarta, mendapat kawan karena kontestasi itu. Ketiga, proses pembingkaian wacana. Dalam kasus Basuki, wacana yang diusung ialah minoritas ganda dan penistaan agama.

Peneliti bidang perkembangan masyarakat dari LIPI, Thung Ju Lan, menyatakan ada pertolongan kelas menengah yang belum mapan untuk menyebarkan isu tentang sentimen-Tionghoa/Tiongkok ke masyarakat tingkat bawah. Kelas menengah memiliki akses ke informasi dan kalangan elite, sekaligus bergaul dengan kalangan menengah ke bawah yang tidak punya akses informasi.

"Mereka bisa bergerak dari bawah ke atas, minta dana dari atas, dan mengabarkan ke kalangan bawah. Makanya pada 98 rusuh yang banyak kelas menengah tidak mapan. Bukan murni benci China, tapi mereka butuh project untuk hidup," cetus Thung.

Bab khusus
Wakil Ketua Komisi II DPR asal F-PKB Lukman Edy mengatakan RUU Penyelenggaraan Pemilu akan memuat pasal atau bab khusus yang melarang kampanye hitam di media sosial.

Lukman yang juga Ketua Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu menyebut seluruh fraksi di DPR secara prinsip telah setuju dengan aturan itu. Dalam pembahasan setelah masa reses selesai, pansus akan mengatur mekanisme sanksinya.

"Mungkin dikondisikan sama seperti politik uang. Artinya, ada sanksi berat bagi timses atau caleg, capres yang menggunakan itu. Peluang itu (kampanye hitam di medsos) harus ditutup," tandasnya dalam diskusi Perludem, di Jakarta, kemarin.(Nyu/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya